Rabu, 16 Desember 2015

Enaknya Kontol Muda

Marwah baru berusia 29 tahun, tapi sudah menjanda. Suaminya mati dalam sebuah kecelakaan bus, meninggalkannya sendirian dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Hidupnya jadi susah, karena itulah ia pulang ke desa untuk hidup bersama kedua orang tuanya.

Menjadi seorang janda bukan berarti sudah tidak menginginkan sex lagi. Itu salah. Buktinya, Marwah masih saja menginginkannya, apalagi sudah lama ia tidak mendapatkannya. Memeknya jadi gatal, tapi ia harus sekuat tenaga menahannya. Sebagai seorang wanita yang baik, ia tidak boleh terlalu vulgar mengumbar nafsu birahinya.
Di desa, Marwah memelihara ayam. Dia juga mempunyai sebuah kolam ikan peninggalan almarhum suaminya serta beberepa petak sawah dan sedikit ladang kering. Sehari-hari ia sibuk mengurusnya, lumayan untuk sedikit mengalihkan perhatiannya.
MARWAH
Sehari-hari, ia akrab dengan seorang anak pengangon kambing yang sesekali suka mengusilinya. Namanya Adi, usianya baru 15 tahun. Selain usil, Adi juga suka bicara seenaknya. Mulanya Marwah risih juga mendengar perkataannya yang tak senonoh itu. Tapi setelah memperhatikan, ternyata anak itu hanya berkata jorok bila mereka berdua saja, dan semua kata-katanya tidak sampai terdengar keluar. Hanya mereka berdua yang tahu. Itu membuat Marwah yakin kalau Adi adalah anak yang pintar menjaga rahasia.
Sampai akhirnya, terjadilah peristiwa itu…
Hari sudah beranjak sore ketika Marwah berniat untuk mandi. Itu adalah rutinitasnya seperti biasa, tapi entah mengapa, sore itu ia merasa tidak enak hati, seperti ada yang membuatnya deg-degan. Perasaannya jadi tidak menentu, naluri kewanitaannya mengatakan bakal ada sesuatu yang terjadi. Entah itu baik ataupun buruk.
Dan benar saja, saat mau menyirami tubuh telanjangnya yang sudah disabuni, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sepasang mata yang mengintip penasaran dari balik dinding gedek. Seperti umumnya kamar mandi di desa, kamar mandi Marwah juga cuma ditutup gedeg atau anyaman bambu sebagai sekatnya. Siapapun yang berniat mengintip akan dengan mudah melihat dari celah dinding bambu. Dan sore ini, Adi melakukannya. Ya, Marwah sangat hafal sekali, itu adalah sepasang mata milik si bocah.
”Adi, ngapain kamu?!” tanya Marwah dari dalam.
“Ya, ini aku, Budhe…” jawab Adi enteng tanpa merasa bersalah sedikitpun. Ia malah tersenyum lebar karena sudah berhasil mengintip tubuh montok Marwah yang sehari-hari tertutup jubah panjang dan jilbab lebar. Memang, tidak semua orang bisa seberuntung dirinya saat ini.
Dalam hati, Marwah membatin, ”Nakal sekali anak ini, harus aku kasih pelajaran!” Dan pelajaran yang cocok untuk anak semacam Adi adalah… Marwah akan membiarkan bocah kecil itu terus mengintip tubuhnya! Rasain, biar saja dia jadi puyeng karena melihat seluruh tubuhnya. Marwah tidak peduli. Salah sendiri jadi anak kok nakal banget.
Pura-pura tidak terjadi apa-apa, Marwah meneruskan acara mandinya. Sambil mengguyur tubuh montoknya yang masih penuh busa sabun, ia sedikit meliuk-liukkan tubuhnya, memamerkan bokong dan payudaranya yang bulat montok pada Adi. Tersenyum dalam hati, Marwah memperhatikan betapa Adi terdiam dan terkagum-kagum memandanginya. Bocah itu melotot dengan air liur hampir menetes keluar.
Jangankan Adi yang baru beranjak gede, orang-orang di pasar saja suka usil bila melihat Marwah. Mereka suka mencolek dan menggodanya kala Marwah menjual telur bebek ke salah satu kios langganannya. Dengan kemolekan tubuhnya, Marwah dengan cepat menjadi idola para pedagang telur di pasar inpres. Tapi untunglah, dengan dandanannya yang alim dan sopan, sampai saat ini belum ada yang berani berbuat macam-macam kepada dirinya. Dan Marwah berharap, semoga selamanya juga tidak ada. Dia ingin menjalani hidupnya di desa ini dengan tenang. Marwah tidak ingin mencari masalah.
Setelah tubuhnya bersih, Marwah mengambil handuk yang ada di cantolan baju. Pelan dia mengusap sisa-sisa air yang masih menempel di tubuh montoknya. Diperhatikannya Adi yang masih tetap setia mengintip dari celah dinding. Marwah tersenyum, ia berniat untuk unjuk diri sekali lagi. Entah kenapa, menghadapi Adi yang usil, sisi liar Marwah jadi bergejolak seperti ini. Padahal biasanya ia cukup teliti menjaga aurat, buktinya ia selalu mengenakan baju panjang dan jilbab kalau keluar rumah. Marwah tidak ingin ada yang menikmati lekuk tubuh montoknya secara gratis.
Menghadap persis ke arah Adi, Marwah mulai beraksi. Sedikit membusungkan dada, ia mulai meremas-remas kedua bukit kembarnya berulang kali, membuat benda yang masih kelihatan padat meski sudah digunakan menyusui 3 orang bayi itu semakin terlihat indah. Marwah juga memilin-milin putingnya yang mungil kecoklatan, yang kelihatan sangat kontras dengan kulit tubuhnya yang putih mulus. Tak berhenti sampai di situ, tangan Marwah turun ke bawah dan mulai mengusap-usap bibir vaginanya. Dia mencolokkan dua jarinya ke dalam dan mulai mengocoknya dengan begitu lembut. Di luar, Adi menegang dan terpana saat melihat Marwah yang mulai bermasturbasi di depan matanya.
Adegan itu terus berlangsung selama beberapa menit sampai akhirnya Marwah menjerit keenakan tak lama kemudian. Dari memeknya memancar air bening yang amat deras. Adi tak berkedip memandanginya, bahkan ia terlihat semakin menempelkan matanya di dinding kamar mandi agar bisa melihat lebih jelas lagi.
Terengah-engah penuh kepuasan, Marwah mengguyur tubuhnya. Ia mandi sekali lagi. Dilihatnya Adi masih setia mengintip apapun yang ia lakukan. Marwah segera menegurnya. ”Sudah, Di. Sudah tidak ada yang bisa dilihat.” katanya begitu acara mandi sore itu selesai.
Tidak mendengar jawaban, Marwah menebak kalau Adi sudah pergi. Hari sudah mulai gelap hingga ia tidak bisa melihat ke antara celah dinding kamar mandi. Marwah segera mengenakan baju panjangnya kembali dan berjalan keluar menuju rumah.
***
Hari masih pagi ketika Marwah pergi ke sawah untuk melihat bebek-bebeknya. Saat itu dia membawa beberapa buah singkong goreng sebagai bekal. Setelah memastikan bebeknya tidak ada yang hilang dan selesai memberi makan mereka, Marwah pergi ke gubuk di tengah sawah untuk beristirahat. Saat sedang asyik memakan bekalnya, dilihatnya Adi datang mendekat. ”Hmm, mau apa bocah nakal itu sekarang?” batin Marwah dalam hati. Dilihat dari cengirannya yang usil, sepertinya Adi tidak merasa bersalah dengan peristiwa kemarin.
”Pagi, Budhe… habis ngasih makan bebek ya?” tanyanya.
”Iya,” Marwah mengangguk. ”Mana kambingmu?” ia bertanya. Tidak biasanya Adi pergi sendirian ke sawah tanpa dibuntuti kambing-kambingnya.
”Sudah dibawa bapak ke bukit sana,” Adi menunjuk bukit kecil yang ada di sebelah kiri mereka.
”Kemarin kamu mengintip Budhe ya, kenapa?” tanya Marwah saat Adi sudah duduk di sebelahnya.
”Adi suka nglihat tetek Budhe yang gede,” jawab Adi enteng.
Marwah memperhatikan payudaranya. Memang benar, meski tertutup baju panjang dan jilbab lebar, benda itu terlihat sangat bulat dan menggiurkan. Anak sekecil Adi aja tahu kalau tetek Marwah begitu montok dan besar. Bocah itu tidak salah. ”Selain tetek Budhe, kamu mau lihat apa lagi?” pancing Marwah, entah kenapa dia jadi bertanya seperti ini.
“Ya… apalagi kalau bukan tempeknya Budhe,” kata Adi seenaknya. Yang dimaksud dengan tempek adalah kemaluan wanita, alias vagina.
“Kamu masih kecil, tapi sudah gatal,” Marwah nyeletuk. Meski tahu kalau Adi sedikit nakal, dia tetap sayang kepada bocah itu karena Adi suka membantunya kalau Marwah lagi sibuk di sawah sendirian. Semua penduduk desa tahu kalau mereka sangat dekat dan akrab. Tapi tak seorang yang tahu kalau Adi suka ngomong jorok dan seenaknya.
”Tempek Budhe kemarin gatal ya, kok sampe digaruk segala?” tanya Adi mengenai masturbasi Marwah.
Marwah tersenyum lebar, ”Bukan gatal, Budhe cuma pengen kencing aja.” dia mengarang alasan.
”Perasaan, kalau ibuku kencing nggak sampai seperti itu deh,” sahut Adi.
”Kamu pernah melihat ibumu kencing?” tanya Marwah tak percaya, benar-benar sudah kelewatan bocah satu ini.
”Nggak ngeliat langsung, cuman nggak sengaja saat ibu jongkok di kebun belakang.” jelas Adi.
”Dasar kamu ya,” Marwah mengacak-acak rambut bocah itu. ”Eh, kalau ngintip ibumu mandi mandi, pernah nggak?” tanya Marwah, tiba-tiba saja terlintas pikiran itu di otaknya yang tertutup jilbab.
Adi mengangguk. ”Iya, pernah.”
“Gimana tetek ibumu, gede kan?” tanya Marwah penasaran. Dia memang pernah sekali melihat ibu Adi sedang mandi di sungai, dan menurutnya tubuh perempuan itu cukup menarik juga meski wajahnya tidak cantik-cantik amat.
Adi terdiam membayangkan, ”Lumayan sih, tapi tetep lebih gede punya Budhe,” jawabnya sesaat kemudian.
Marwah tertawa mendengarnya. ”Itu karena usia ibumu sudah tua, jadi teteknya kendor. Coba kalau seusia Budhe, pasti ukurannya bakal sama.”
Adi menggeleng, ”Nggak, masih lebih bagus punya Budhe.”
Marwah tertawa lagi. “Trus, emang kenapa kalau lebih bagus punya Budhe? Kamu mau ngapain?” tantangnya.
Adi tersipu malu, ”Ya nggak apa-apa sih. Adi cuma pingin pegang, pingin hisap, pingin remas-remas!” kata bocah itu sekenanya.
“Ah, kamu ini… dasar anak kecil!” Marwah kembali mengacak-acak rambut gondrong Adi.
“Kecil apanya? Nih Budhe lihat!” tanpa disangka oleh Marwah, Adi tiba-tiba berdiri dan memelorotkan celananya.
”Adi!” pekik Marwah saat melihat kontol Adi yang sudah ngaceng keras. Walau bulunya masih sangat sedikit, tapi benda itu tampak begitu mempesona. Bagi seorang wanita yang haus akan sentuhan seperti Marwah, melihat kontol tepat di depan matanya seperti sekarang, tak urung dengan cepat membuat darahnya berdesir. ”Gila. Anak umur limabelas tahun, tapi kontolnya sudah mirip orang dewasa,” batin Marwah dalam hati.
“Gimana, besar kan, Budhe?” tanya Adi bangga sambil semakin memamerkan penisnya.
“Ya, lumayan juga.” Marwah tak sanggup memalingkan mukanya dari benda coklat panjang itu.
”Kok cuma lumayan, ini kan sudah gede banget.” protes Adi tidak terima.
”Memang gede sih, tapi kan belum pernah dipakai. Mana bisa tahu kuat apa nggak?” pancing Marwah lebih nakal lagi.
“Dipakai buat ngentot ya, Budhe?” tanya Adi polos.
Marwah mengangguk mengiyakan. ”Iya, kamu sudah pernah ngentot belum? Aku yakin belum!” yakin Marwah.
Adi tersipu malu, “Aku kepingin ngentot, Budhe, tapi bagaimana?” tanyanya bingung.
”Bukan bagaimana, tapi sama siapa! Kalau soal cara ngentot sih, Budhe bisa ngajarin.” tawar Marwah.
Adi langsung menyeringai lebar mendengarnya, ”Ya betul! Kenapa nggak sama Budhe aja?” kata Adi ceplas-ceplos.
“Gila kamu! Ngajarin kan bisa lewat tulisan atau cerita, nggak perlu harus ngentot langsung.” kilah Marwah.
“Ayolah, Budhe. Masak cuma lewat tulisan, nggak seru dong!” kata Adi.
Marwah diam tidak menjawab. Dia tampak berpikir keras. Sebagai seorang wanita berjilbab, ia tidak boleh melakukannya. Tapi di sisi lain, hati kecilnya tidak bisa dibohongi. Pembicaraan ini telah memancing gairahnya. Ditambah dengan kontol Adi yang besar, yang terus tersaji indah di depannya, membuat Marwah jadi sangat kesulitan untuk menentukan sikap.
Bebek-bebek terus bersuara di sekitar mereka, terkadang berenang kian kemari di air sawah yang baru saja dipanen. Binatang berkaki selaput itu berebutan memakan biji padi yang masih banyak berserakan disana. Sisanya yang tidak kebagian mencocorkan paruhnya ke pematang sawah, berharap mendapat cacing atau siput yang sedang sial.
“Boleh ya, Budhe?” Adi mendesak semakin berani.
Marwah menghela nafas. Ia memandangi bocah kecil itu dan tersenyum, “Benar kamu mau tahu?” tanyanya penasaran dengan kemampuan Adi.
“Iya, Budhe. Aku pengen sekali ngentot. Apalagi dengan orang secantik Budhe, aku pingin sekali!!” seru Adi penuh semangat.
“Tapi kamu tidak boleh bercerita kepada siapapun juga. Sumpah?” kata Marwah serius.
“Sumpah, Budhe. Aku nggak bakal cerita sama siapapun.” Adi menganggukkan kepalanya.
Marwah tersenyum dan kembali mengacak-acak rambut gondrong Adi. ”Sebentar ya,” dia melihat sekeliling, memastikan kalau mereka aman. Gubuk itu berbentuk terbuka, dengan anyaman bambu yang menutupi hingga sebatas pundak. Kalau mereka duduk, dari kejauhan, hanya kepala mereka yang terlihat. Marwah menyadari hal ini dan tersenyum. Mereka bisa melakukannya!
Situasi juga sangat memungkinkan. Hari yang masih pagi membuat para petani sibuk di sawah masing-masing. Tidak akan ada yang melihat ke arah gubuk, atau bahkan mendatangi tempat dimana Adi dan Marwah sedang berada sekarang. Ditambah suara ratusan bebek yang berkuek-kuek nyaring, itu bisa menyamarkan dengan baik suara desahan mereka saat ngentot nanti. ”Sempurna!” Marwah membatin dalam hati. Dia kemudian berpaling kembali pada Adi.
“Kamu telentang di sini dan tetap pakai bajumu. Kalau ada orang lewat, kamu cepat menaikkan kembali celanamu!” kata Marwah memberi instruksi.
Adi segera mengikuti apa yang dianjurkan oleh perempuan cantik itu. Dia tidur telentang dan celana melorot hingga sebatas paha, memperlihatkan burung besarnya yang mendongak gagah mencari mangsa. Marwah mengelus-elus burung Adi sebentar sampai benda itu menjadi benar-benar keras. Gila, ternyata kontol itu bisa membengkak sampai dua kali lipat, ukurannya juga menjadi sedikit lebih panjang. Marwah sampai geleng-geleng kepala dibuatnya.
”Baru umur segini sudah begini gede, gimana kalau sudah besar nanti?” Marwah membatin dalam hati, menyadari potensi pada diri Adi sebagai pria perkasa.
Tak tahan, Marwah segera mengangkat baju panjangnya ke atas, ia menyingkapnya hingga ke pinggang. Dibiarkannya Adi mengelus-elus kulit pahanya yang putih mulus sebentar. ”Kamu suka, Di?” tanyanya sambil melepaskan celana dalam. Dengan nakal dipamerkannya lubang memeknya yang sempit pada bocah kecil itu.
”S-suka… suka banget, Budhe!” sahut Adi dengan mata nanar menatap gundukan memek Marwah yang tersaji indah di depan hidungnya. Dengan tangan gemetar ia mulai mengusap-usap dan memijitinya.
”Isap, Di,” kata Marwah sambil menggeser sedikit tubuhnya, ia menaruh belahan memeknya tepat di depan mulut si bocah kecil.
Adi dengan penasaran segera menjulurkan lidahnya. Rasa memek Marwah yang segar dan harum membuatnya suka, iapun menjilat dan menghisap benda itu dengan begitu rakus. Adi bahkan sampai membenamkan muka ke dalam lubangnya. Ia bernafas disana. Marwah yang menerimanya jadi kelojotan tak karuan. Sudah lama ia tidak merasakan yang seperti ini, dan begitu mendapatkannya, ternyata Adi begitu pintar. Gerakan lidahnya bagai orang yang sudah berpengalaman bertahun-tahun, padahal Marwah tahu, ini juga saat pertama Adi.
”Ahh.. Terus, Di. Yah, disitu… isep yang mungil itu. Itu namanya itil, Di. Enak banget kalau diisep! Oughhh!” Marwah merintih tak karuan. Tangannya menggapai-gapai untuk mencari pegangan agar tidak sampai ambruk karena saking nikmatnya. Tapi yang ia temukan malah kontol besar Adi. Tak apalah, daripada tidak ada sama sekali. Marwah segera memeganginya dan mulai mengocoknya pelan.
Adi yang mendapat suntikan rangsangan dari Marwah, melenguh pelan dan mulai menjilat semakin keras. sekarang bukan lidahnya saja yang bekerja, tapi juga tangannya. Adi menyusupkan tangannya ke balik baju terusan Marwah dan menyelipkannya di balik BH perempuan cantik itu. Diremas-remas tetek Marwah yang menggantung indah, yang selama ini selalu menjadi obsesinya dengan penuh nafsu. Ugh, benda itu terasa begitu empuk dan kenyal. Ukurannya yang sangat besar membuat tangan mungil Adi tidak bisa mencakup semuanya. Dengan dua jari, Adi menjepit dan memilin-milin putingnya yang terasa mengganjal. Sebentar saja, benda itu sudah menjadi begitu kaku dan keras, sama dengan kontolnya yang kini mulai dijilat dan diciumi oleh Marwah.
Saling mengulum kemaluan, mereka kini berposisi 69. Marwah di atas dan Adi di bawah. Melihat kontol Adi yang menjadi kian keras dan panjang membuat Marwah jadi tak tahan. Maka sambil menyodorkan memeknya ke mulut mungil si bocah, ia pun mulai menunduk untuk mengulum dan menjilati batang penis Adi.
Adi yang mendapat tambahan rangsangan dari Marwah, memekik gembira. Dengan penuh nafsu ia menjilat dan menghisap memek sempit si ibu muda, sementara kedua tangannya terus bergerilya meremas-remas gundukan payudara Marwah yang sekarang menggantung indah di balik bajunya dan sudah tidak tertutup BH.
Cukup lama mereka berada dalam posisi seperti itu sebelum akhirnya Marwah bangkit dan mulai mengangkangi tubuh Adi. Menghadap lurus ke arah si bocah, Marwah menaruh kedua lututnya di atas balai-balai gubuk yang terbuat dari bambu. Ditangkapnya burung Adi yang sudah menyundul-nyundul tak sabar di depan pintu gerbang surganya, lalu dituntunnya benda itu agar segera memasukinya secara perlahan. Memek Marwah terasa sangat lengket dan basah, campuran antara cairan kewanitaannya yang merembes keluar dan air liur Adi. Marwah terus menekan tubuhnya ke bawah saat batang penis Adi sudah menyelinap masuk.
”Oughhh…” Adi merintih begitu merasakan kehangatan lubang memek Marwah yang menyelimuti batang penisnya. Lorongnya terasa begitu lembut dan hangat, juga sangat menggigit sekali hingga membuat Adi yang doyan onani jadi merem melek keenakan.
Sambil mengoyang perlahan-lahan, Marwah berpura-pura lagi menjaga bebeknya. Ketika ada seseorang lewat di pematang seberang, dia sengaja berteriak-teriak menghalau bebek-bebeknya. Orang itu tersenyum dan menyapa Marwah, ”Giat amat, Mbak Marwah. Pagi-pagi sudah ke sawah.”
Menahan desahannya, Marwah tersenyum dan menjawab, ”Iya nih, Pak, oughhh… bebeknya nakal, ahh… suka nyosor ke sawah orang, ughh!”
Petani tua yang menyapanya memicingkan mata, ”Mbak Marwah nggak apa-apa? Kok kayak kesakitan gitu?” tanyanya curiga.
Marwah kembali tersenyum, ”B-banyak semut, ehss… pada ngegigit kaki saya!”
Pak Tua tersenyum, ”Hati-hati, Mbak. Disini semutnya nakal-nakal, sukanya gigit wanita cantik.”
”I-iya, Pak, arghhh!” Marwah memekik. Saat itu, berbaring di bawah tubuhnya, Adi menggenjot penisnya semakin keras. Begitu kencangnya tusukan itu hingga beberapa kali kontolnya yang panjang menembus memek Marwah hingga ke pangkal. Marwah jadi kelojotan dibuatnya. Ia merasa sangat nikmat sekali.
Tetap tersenyum, sambil geleng-geleng kepala, si Petani Tua pergi meninggalkan Marwah. Dia meneruskan langkah menuju ke sawahnya sendiri.
”Eghh… Budhe!” Adi memeluk kedua paha Marwah dan menggoyang pinggulnya semakin cepat. Dia juga merasa nikmat, bahkan lebih nikmat daripada yang dirasakan Marwah, mungkin karena ini adalah persetubuhan pertamanya.
Setiap hari, setiap kali angon kambing, Adi selalu berfantasi dan berbicara tentang kecantikan Marwah dengan teman-temannya. Bocah-bocah kecil itu ramai ngomongin betapa molek dan montoknya ibu muda itu. Beberapa kali mereka saling menantang, bertanya siapa yang berani menggoda Marwah duluan. Dan sampai berbulan-bulan, ternyata hanya Adi yang berani mendekatinya. Dan sekarang dia mendapatkan hasilnya, Adi bisa merasakan tubuh montok Marwah meski dalam situasi yang sangat menegangkan. Tapi justru itu yang bikin nikmat, rasa deg-degan karena takut terpergok membuat mereka meresapi setiap detik tautan alat kelamin mereka.
Memandang sekeliling, Marwah memastikan kalau tidak ada lagi orang yang lewat. Sambil terus menggoyang tubuhnya dari atas, ia semakin kencang menekan pinggulnya jauh ke bawah, membuat kontol Adi jadi menusuk dan menancap lebih dalam. Mereka memekik bersamaan, cukup keras terdengar, tapi untung ada suara celoteh bebek-bebek yang menyamarkannya. Marwah membungkuk dan mengeluarkan teteknya dari balik jubah, ia meminta Adi untuk menghisapnya. ”Ini kan yang kau inginkan?” tanyanya dengan kerlingan nakal.
Tak menjawab, Adi segera menyosor benda bulat itu. Gerakan mulutnya secepat paruh para bebek yang lagi berebutan cacing. Bedanya, kali ini puting Marwah lah yang menjadi sasarannya. Adi mencucup dan menghisapnya dengan rakus. Ia menjilatinya secara bergantian, dua-duanya ia garap secara adil, dari kiri ke kanan, lalu balik lagi lagi ke kiri. Kalau sudah kelelahan, ia benamkan mukanya ke belahannya yang curam.
”Auw!” Marwah memekik kegelian menerimanya, tapi bukannya berhenti, ia malah meminta Adi agar menggigit-gigit ringan putingnya. Dengan senang hati, Adipun melakukannya. Dan Marwah semakin kelojotan dibuatnya, ia terus menekan tubunnya sampai dirasakannya Adi orgasme tak lama kemudian. Sperma bocah itu berhamburan memenuhi lubang memeknya.
”Budhe, aku keluar!” pekik bocah itu sambil meremas kuat-kuat tetek besar Marwah.
Marwah terdiam, membiarkan Adi menikmati puncak permainannya. ”Dasar bocah, baru sebentar sudah keluar.” batinnya dalam hati. Tapi Marwah tak bisa menyalahkannya juga. Siapa juga yang bisa tahan main lama dengannya? Jangankan Adi yang masih bau kencur, dulu suaminya saja hanya sanggup bertahan lima menit.
”Tubuhmu terlalu nikmat, Sayang!” begitu kata suaminya beralasan kalau Marwah mendengus kecewa. Dan sampai laki-laki itu meninggal, Marwah tidak pernah merasakan indahnya orgasme. Jadi dia maklum saja kalau Adi yang baru pertama kali ini ngentot, jadi kelihatan cupu di depannya.
”Kamu salah memilih sasaran, Di.” gumam Marwah sambil membenahi pakaiannya. Dia sudah mencabut penis Adi dari belahan memeknya dan sekarang menyuruh bocah nakal itu untuk mencuci tubuhnya di sungai. Marwah menyusul tak lama kemudian. Jongkok di tepi sungai, ia membasuh lubang kencingnya yang penuh oleh sperma Adi.
”Budhe, punyaku bangun lagi.” seru Adi yang duduk di sebelahnya.
Marwah menoleh, dan mendapati kontol Adi yang sudah tegang kembali. ”Kenapa, kamu pengen lagi?” tanya Marwah menggoda. Dia memegangi penis itu dan kembali mengocoknya pelan.
Adi mengangguk malu-malu, ”Iya, Budhe.”
”Kan tadi sudah,” kilah Marwah.
”Tapi masih pengen,” rengek Adi manja.
”Besok lagi ya? Sekarang Budhe harus pulang, sudah siang.” Marwah melepas kontol Adi, membuat si bocah melenguh kecewa.
”Besok? Disini? Seperti tadi? tanya Adi penasaran.
Marwah tersenyum dan mengangguk. Hatinya gembira, dia kini sudah punya ’teman’ yang bisa membantunya melepas birahi, meski itu adalah Adi, anak tetangganya yang baru berusia limabelas tahun. Tapi tak apa, biarpun masih kecil, tapi kontolnya sudah keras dan panjang. Dan kalau dilatih dengan benar, dengan bimbingan Marwah tentunya, sebentar lagi benda itu akan menjadi dewasa dan siap untuk digunakan sepenuhnya.
“Gimana, Budhe?” tanya Adi lagi, menagih janji Marwah.
Marwah mengangguk. “Iya, disini. Tapi ingat, kamu harus jaga rahasia ini. Kalau sampai ada orang yang tahu, bisa-bisa kamu akan dibunuh orang. Kamu nggak mau kan itu terjadi?” ancam Marwah.
Adi mengangguk setuju.
***
Esoknya, setelah mengikat kambing-kambingnya ke pohon terdekat, Adi mendekati Marwah yang sudah menunggu di dalam gubuk. ”Pagi, Budhe?” sapanya ramah.
Marwah melirik celana bocah itu, tampak sudah ada sedikit tonjolan disana, Adi rupanya sudah tak sabar. ”Kok bawa kambing, kemana ayahmu?” tanya Marwah basa-basi.
Tidak menjawab, Adi malah meloncat duduk di samping Marwah dan langsung menjulurkan tangannya untuk meremas-remas tetek Marwah yang tersembunyi di balik baju kurung. ”Adi kangen ini, Budhe.” kata bocah itu.
Marwah tersenyum dan tetap membiarkan Adi melakukannya. ”Budhe juga kangen ini?” balas Marwah sambil mengelus-elus kontol Adi dari luar celana. Cukup lama mereka saling merangsang hingga ada beberapa orang ibu-ibu yang lewat di belakang gubuk.
Marwah segera berpura-pura menawari Adi minum kopi. ”Cepat minum, Di, sebelum keburu dingin!”
Adi langsung menenggaknya, sama sekali tidak menyangka kalau kopi itu masih sangat panas. Dia langsung mengaduh sambil jingkrak-jingkrak, lidahnya serasa terbakar. Para ibu tertawa melihatnya, bahkan Marwah juga ikutan tertawa. Adi jadi tersipu karena jadi bahan tertawaan. Tapi untunglah, karena tingkahnya itu, jadi tidak ada yang curiga dengan apa yang baru saja ia lakukan bersama Marwah.
”Dapat kue apa, Di, dari Budhe Marwah?” tanya salah seorang ibu. Mereka rupanya hendak menuju sawah Haji karim yang hari ini dipanen.
Adipun menjawab sekenanya, ”Ini, ada singkong goreng. Tapi masih belum boleh dimakan, nunggu dibuka dulu.”
ibu-ibu tertawa mendengarnya, setelah pamit pada Marwah, mereka melanjutkan perjalanan. Marwah yang mengerti apa yang dimaksud oleh Adi, langsung menjitak kepala bocah itu kuat-kuat.
”Hati-hati kalau bicara, kan sudah Budhe peringatkan kemarin.” ancam Marwah.
”I-iya, Budhe.” sambil mengusap-usap kepalanya yang jadi benjol, Adi menjawab takut-takut.
Marwah jadi kasihan melihatnya. Setelah melihat sekeliling, memastikan kalau situasi aman, iapun berkata pada Adi. ”Udah… sini, sekarang kamu rebahan di pahaku. Kepalamu di sini,” Marwah menunjuk pangkal paha di bawah perutnya. ”Kamu hisap tetek Budhe biar lidahmu jadi dingin lagi.” kata Marwah, merujuk pada kekonyolan Adi tadi.
Mengangguk kesenengan, Adipun merebahkan kepalanya di paha Marwah, dinantikannya Marwah yang sedang sibuk melepas kancing baju panjangnya. Tersenyum, Marwah mengeluarkan teteknya dan memberikannya pada Adi, ia menarik keluar dua-duanya, menyajikan pemandangan yang sangat indah di mata si bocah. Tak berkedip, Adi segera mencium dan mengulumnya, ia hisap putingnya yang bulat runcing bergantian, kiri dan kanan. Bagai bayi yang kehausan, mulutnya terus menempel di dada Marwah. Dengan jilbab lebarnya, Marwah menyembunyikan kepala Adi, membuat perbuatan mesum mereka jadi terasa aman.
Di sisi lain, Marwah juga tak mau tinggal diam, dia mulai mengelus-elus burung Adi. Tak puas dari luar celana, ia masukkan tangannya ke dalam celana si bocah. Masih tak puas juga, akhirnya ia pelorotkan celana pendek Adi ke bawah hingga kontolnya yang sudah menegang dahsyat terlontar keluar. Marwah segera menangkap dan menggenggamnya, lalu dengan perlahan mulai dielusnya. Sementara Adi terus menghisap teteknya secara bergantian, Marwah mulai mengocok benda itu kuat-kuat, ia benar-benar gemas dengan kontol muda Adi.
”Ehm… ehss… enak, Budhe!” desis Adi dengan mulut tetap menempel di puting Marwah, sekarang benda itu sudah terlihat basah dan memerah karena air liurnya.
Marwah membalas dengan mengocok penis Adi semakin cepat, dan saat ia sudah mulai tak tahan, cepat-cepat Marwah menyingkap baju panjangnya dan berbaring telentang di papan. Sedikit tak sabar, ia bimbing Adi agar segera menindih tubuhnya. Gemas ditangkapnya burung bocah itu lalu cepat dimasukkannya ke dalam memek saat Adi tampak kesulitan melakukannya. Begitu sudah masuk, reflek Adi segera memompa tubuhnya, membuat alat kelamin mereka sekali lagi saling mengisi dan menggesek.
Mereka melenguh berbarengan, juga merintih bersama-sama, serta berkeringat berdua sampai akhirnya Adi melepaskan spermanya tak lama kemudian. Sama seperti kemarin, Marwah juga belum apa-apa. Ia baru merasa nikmat, tapi Adi sudah keburu terkapar duluan. Tapi lumayan, sudah sedikit lebih lama dari kemarin.
Adi segera mencabut penisnya dan duduk terengah-engah di samping Marwah, ia melihat sekeliling sembari memperbaiki celananya.
“Bagaimana, ada orang” tanya Marwah yang masih tiduran. Tangannya menarik kembali bajunya ke bawah hingga menutup ke mata kaki. Untuk payudaranya, tetap ia biarkan terbuka karena Adi masih mengusap-usap dan meremas-remasnya pelan. Bocah itu tampak sangat menyukainya.
Tidak menjawab, mata Adi tetap awas melihat sekeliling. Sementara tangannya juga tetap berada di atas gundukan payudara Marwah, meremas-remas lembut disana sambil sesekali memijit dan menjepit putingnya yang bulat mungil.
Merasa diperdayai, Marwah segera bangkit dan duduk di samping Adi. Benar, sawah kelihatan sepi, sama sekali tidak ada orang. Ia segera menjitak kepala bocah itu keras-keras, ”Dasar kamu, ya!” umpatnya karena sudah dibohongi.
Adi tertawa cengengesan sambil mengusap-usap kepalanya yang nyeri, sama sekali tidak kelihatan marah. Malah dia mengajak Marwah untuk pergi ke sungai membersihkan diri.
Sejak itu, hubungan mereka menjadi semakin ’akrab’. Adi setiap hari meminta jatah kepada Marwah, dia sudah tidak malu-malu lagi melakukannya, sepertinya dia sudah ketagihan dengan tubuh molek ibu muda itu. Marwah yang melihatnya, jadi punya ide lain. Dengan senang hati ia memberikan tubuhnya pada Adi dengan sedikit permintaan; disuruhnya Adi ini dan itu, mulai dari menjaga bebek hingga mengangkat pakan ternak yang beratnya minta ampun. Tapi Adi tampak senang-senang saja melakukannya, yang penting ia dapat merasakan tubuh mulus Marwah.
Hubungan itu terus berjalan hingga tanpa terasa sudah memasuki bulan ketiga. Adi sudah semakin ahli dan pintar, beberapa kali ia bisa mengantar Marwah menuju orgasmenya. Marwah senang bukan main menerimanya, ia semakin sayang pada bocah itu. Untuk jaga-jaga, Marwah ikut KB. Tiap hari ia minum pil agar tidak sampai hamil. Hubungan ini tidak boleh sampai berakhir.
Dan bukan hanya mereka berdua yang senang, orang tua Adi juga ikut gembira karena anaknya diperlakukan dengan baik oleh Marwah. Mereka ikhlas saja melepas Adi, bahkan menyuruh bocah itu agar tak segan membantu Marwah bila ada kesulitan. Misalnya seperti hari ini, saat Marwah sibuk membuat telor asin, dengan senang hati orang tua Adi mengijinkan anak mereka agar menginap di rumah Marwah.
”Biar bisa cepat selesai,” begitu kata ayahnya.
Marwah tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Di belakang, Adi bersorak gembira karena tadi siang, Marwah menjanjikannya sesuatu yang ’spesial’, dengan syarat dia mau tidur di rumahnya. Adi jadi tidak sabar menunggu, apakah sesuatu yang spesial itu?
Malam bergerak lamban bagi Adi. Sampai pukul 21.00, mereka masih mengerjakan pesanan telor asin yang tinggal sedikit lagi selesai. Di luar, suasana cukup sepi. Di Desa itu memang jarang yang keluar malam. Kelelahan setelah bekerja seharian di ladang membuat banyak rumah yang sudah menutup pintu, bahkan tidak sedikit yang mematikan lampu. Tak terkecuali kediaman Marwah, bahkan anak dan orang tua Marwah sudah pada tidur sejak sore tadi. Hanya tinggal Adi dan Marwah yang masih melek di malam yang dingin itu.
Adi yang sudah tak sabar segera mencolek lengan Marwah, ”Gimana, Budhe?” tanyanya konak.
Marwah membalas dengan mengusap pelan kontol Ade, benda itu terasa sudah mengeras dan menegang penuh. ”Sabar, tinggal sedikit lagi.” bisiknya.
Adi memindahkan tangannya ke gundukan payudara Marwah, membuat baju kurung yang dikenakan wanita itu jadi bernoda tanah saat dia mulai meremas-remas pelan disana. Marwah hanya mendesah, tapi tidak menolak. Sambil terus membuat telor asin, dia membiarkan tangan Adi tetap berkreasi. Sekarang bocah itu malah sudah memasukkan jari-jemarinya ke sela kancing baju Marwah, menyentuh gundukan payudaranya secara langsung dan memilin-milin putingnya yang sudah mulai terasa sedikit mengeras. Marwah sadar, Adi sudah benar-benar pengen, nafsu bocah itu sudah tidak dapat ditangguhkan lagi.
Meletakkan telornya yang tinggal sekeranjang lagi, Marwah segera mengajak Adi untuk mencuci tangan ke sumur belakang. Setelah itu ia segera menuntun si bocah masuk ke dalam kamarnya. Saat melewati dapur, Marwah mengambil sedikit minyak goreng, ditaruhnya di dalam sebuah mangkok kecil.
”Buat apa, Budhe?” tanya Adi penasaran.
“Ini yang kubilang spesial kemarin,” sahut Marwah.
”Budhe mau menggoreng ikan di kamar?” tanya Adi polos.
Tawa Marwah meledak mendengarnya, ”Sudah, kamu diam saja.”
Mereka masuk ke kamar dan Marwah segera mengunci pintunya. Dua anaknya sudah tidur di kamar yang lain, sedang yang terkecil lebih sering tidur bersama neneknya. Marwah tidur sendiri di kamar ini. Tapi tidak malam ini, sekarang ia ditemani Adi, yang sudah ditelanjanginya sampai bugil dan disuruhnya berbaring di atas ranjang. Marwah sudah melapisi spreinya dengan plastik putih tipis transaparan.
”Panas, Budhe.” Adi mengomentari alas tidurnya yang aneh.
Marwah tersenyum saja, tapi tidak menjawab. Ia mulai mencopoti seluruh bajunya hingga tak lama kemudian sudah sama-sama bugil. Kontol Adi tampak semakin menegang dahsyat melihat tubuh montok Marwah yang tersaji indah di depannya. Inilah untuk pertama kalinya ia melihat tubuh Budhenya secara utuh, dalam jarak yang begitu dekat, tanpa perlu harus mengintip seperti yang dilakukannya dulu.
Tetap tersenyum, Marwah segera berjalan mendekat sambil membawa mangkok berisi minyak goreng. Ia duduk di samping Adi. Dibiarkannya tangan Adi yang nakal mulai merambat untuk mengelus-elus seluruh tubuhnya. ”Kamu suka tubuh Budhe?” tanya Marwah memancing sambil tangannya mulai melumuri burung Adi memakai minyak goreng. Adi tentu saja langsung tersentak dibuatnya.
”Ehm… suka banget, Budhe! Uughh… enak!” rintihnya saat Marwah mulai mengocok kontolnya pelan.
Marwah kembali mengucurkan minyaknya, kali ini giliran perut dan dada Adi yang menjadi sasaran. Dengan menggunakan gundukan payudaranya, Marwah kemudian menunduk untuk meratakannya. Adi tentu saja langsung terkejang-kejang dipijit-pijit seperti itu. Apalagi saat Marwah mulai menindih tubuhnya, dan secara perlahan memasukkan penisnya yang sudah menegang dahsyat ke dalam lubang memeknya… ugh, nyawa Adi bagai terbang ke langit ke tujuh merasakannya!
Tapi baru saja ia menggoyang, kira-kira masih sepuluh tusukan, tiba-tiba Marwah berhenti menggerakkan pinggulnya, membuat kontol Adi yang baru merasa nikmat jadi ngaceng tanggung. ”Budhe, kok berhenti?” tanya Adi kecewa.
Marwah tersenyum penuh arti, ”Kamu suka, enak tidak?” tanya Marwah nakal.
Adi mengangguk cepat, ”Enak banget, Budhe. Ayo goyang lagi!” pintanya.
Marwah menggeleng. ”Ada lagi yang lebih enak, kamu pasti suka!” sambil berkata, dia turun dari tubuh Adi, membuat si bocah makin mendengus kesal karena merasa dipermainkan.
”Apaan, Budhe? Ayo cepetan!” seru Adi tak sabar, rasanya dia tega untuk memperkosa Marwah kalau wanita itu terus menggodanya seperti ini.
Tidak menjawab, Marwah mengambil minyak goreng lalu mulai melumuri lubang pantatnya sendiri. Setelah dirasa cukup merata, dia kemudian membungkuk di depan Adi, mempertontonkan lubang pantatnya yang tampak licin dan mengkilat. Adi yang tidak mengerti apa yang diinginkan oleh Marwah, segera menyerbu dari belakang dan menusukkan batang kontolnya ke lubang memek si ibu muda.
”Bukan yang itu, Di.” Marwah cepat mendorong tubuh Adi ke belakang. ”Tapi yang ini!” dia menunjuk lubang anusnya.
Adi celingukan, ”Apa cukup, Budhe?” tanyanya sambil membandingkan ukuran penisnya dengan lubang itu.
”Lakukan saja, nanti aku tuntun,” kata Marwah tak sabar. Dia kembali menungging saat Adi mulai berlutut di belakangnya. Cepat ditangkapnya burung bocah itu lalu ia tempelkan ujungnya yang tumpul ke lubang pantatnya. “Ayo tusuk, Di. Tekan yang kuat,” Marwah memberi perintah.
Adi mengikuti, ia tekan kontolnya kuat-kuat hingga menembus lubang sempit itu. Ia merasakan bagaimana cengkeraman lubang anus Marwah bagai mencekik burungnya, tapi tetap berusaha ia tahan karena di sisi lain ia juga merasa nikmat karenanya. Adi merasa kontolnya bagai diremas-remas dan dielus-elus ringan oleh lorong anus Marwah.
“Ayo goyang, Di,” bisik Marwah saat rasa kebas di pantatnya sudah mulai hilang.
Adi melakukannya, ia mulai menggoyang pinggulnya perlahan hingga batang penisnya yang besar bergerak keluar-masuk dengan pelan di dalam lubang sempit Marwah. ”Eghs… Terus, Di… ughh… enak!” desah Marwah keenakan. Mereka terus berada dalam posisi seperti itu hingga beberapa menit lamanya.
Sambil menggoyang, Adi menggapai tetek Marwah yang menggantung indah di depannya untuk digunakannya sebagai pegangan. Putingnya yang mungil ia pilin-pilin kuat saat penisnya keluar-masuk semakin cepat di pantat perempuan cantik itu
”Ough… enak, Di! Terus! Tusuk yang dalam! Ahh…” Marwah menggeleng-gelengkan kepala, merasa sangat nikmat sekali. Sudah lama ia tidak merasakan yang seperti ini, terakhir dengan suaminya beberapa tahun yang lalu, itupun tidak lama karena sang suami lebih suka mencoblos liang memeknya daripada lubang pantatnya. Dengan Adi, Marwah jadi bisa menyalurkan fantasinya yang tertunda.
”Arghhh… Adi… aku… oughhh…” tak sanggup meneruskan kata-katanya, Marwah meledak tak lama kemudian. Ia orgasme, air cintanya tumpah ruah membasahi plastik bening di atas sprei.
Adi sedikit kaget dibuatnya, ia sempat menghentikan goyangannya sebentar untuk mengintip apa yang terjadi. Saat tahu kalau Marwah baik-baik saja, bahkan wanita itu terlihat puas dan bahagia sekali, barulah Adi meneruskan genjotannya, bahkan kali ini menjadi lebih cepat karena ia juga merasa tidak tahan lagi. Jepitan anus Marwah yang sangat ketat dan kuat mustahil untuk dilawan.
”Arghhhh… Budhe!” menjerit tak kalah keras, Adi memeluk kuat tubuh montok Marwah dan menusukkan penisnya sedalam mungkin ke lubang dubur perempuan cantik itu, disana ia melepaskan semua spermanya berkali-kali.
Marwah tersenyum, semua pelajarannya untuk mendewasakan Adi kini tuntas sudah. Anak itu sudah resmi menjadi lelaki dewasa. Dipeluknya tubuh kurus Adi yang ambruk kelelahan di atas ranjang, ditunggunya hingga Adi siap untuk ronde yang kedua. Malam ini adalah malam spesial, mereka tidak boleh tidur!
Share this article now on :

0 komentar:

Posting Komentar