SARI
Dalam keadaan marah, tersinggung, bercampur gemas karena birahi, Sari membanting gagang telepon. Ia merasa sesuatu yang ‘nakal’ harus ia lakukan sebagai balas dendam kepada pasangan hidup yang sudah demikian melecehkannya. Kembali ia teringat kepada pembicaraannya dengan Minah beberapa hari yang lalu, kala ia tanyakan bagaimana pembantu wanitanya itu menyalurkan hasrat sex-nya.Waktu itu ia bercanda mengganggu janda muda yang sedang mencuci piring di dapur itu. “Minah, kamu rayu aja si Iman. Kan lumayan dapet daun muda.” Minah tersenyum malu-malu. Katanya, “Ah ibu bisa aja … Tapi mana dia mau lagi.” Lalu sambil menengok ke kanan ke kiri, seolah-lah takut kalau ada yang mendengar Minah mengatakan sesuatu yang membuat darah sari agak berdesir. “Bu, si Iman itu orangnya lumayan lho. Apalagi kalau ngeliat dia telanjang nggak pakai baju.” Pura-pura kaget Sari bertanya dengan nada heran: “Kok kamu tau sih?” Tersipu-sipu Minah menjelaskan. “Waktu itu malam-malam Minah pernah ke kamarnya mau pinjem balsem. Diketuk-ketuk kok pintunya nggak dibuka. Pas Minah buka dia udah nyenyak tidur. Baru Minah tau kalau tidur itu dia nggak pakai apa-apa.” Tersenyum Sari menanyakan lebih lanjut. “Jadi kamu liat punyaannya segala dong?” Kata Minah bersemangat, “Iya bu, aduh duh besarnya. Jadi kangen mantan suami. Biarpun punyanya nggak sebesar itu.” Setengah kurang percaya Sari bertanya, “Iman? Si Iman anak kecil itu?” “Iya bu!” Minah menegaskan. “Iya Iman si Pariman itu. Kan nggak ada yang lainnya tho bu.” Lalu dengan nada bercanda Sari bertanya mengganggu,”Terus si Iman kamu tomplok ya?” Sambil melengos pergi Minah menjawab, “Ya nggak dong bu, “” kata Minah sambil buru-buru pergi.
PIKIRAN NAKAL
Dalam keadaan hati yang panas dan tersinggung jalan pikiran Sari menjadi lain. Ia yang biasanya tidak terlalu memperdulikan Iman, sekarang sering memperhatikan pemuda itu dengan lebih cermat. Beberapa kali sampai anak muda itu merasa agak rikuh. Dari apa yang dilihatnya, ditambah cerita Minah beberapa hari yang lalu, Sari mulai merasa tertarik. Membayangkan ‘barang kepunyaan’ Iman, yang kata Minah “aduh duh” itu membuat Sari merasa sesuatu yang aneh. Mungkin sebagai kompensasi atau karena gengsi sikapnya menjadi agak dingin dan kaku terhadap Iman. Iman sendiri sampai merasa kurang enak dan bertanya-tanya apa gerangan salahnya.
Pada suatu hari, setelah sekian minggu tidak menerima ‘nafkah batin’nya, perasaan Sari menjadi semakin tak tertahankan. Malam yang semakin larut tidak berhasil membuatnya tertidur. Ia merasa membutuhkan sesuatu. Akhirnya Sari berdiri, diambilnya sebuah majalah bergambar dari dalam lemari dan pergilah ia ke kamar Iman di loteng bagian belakang rumah. Pelan-pelan diketuknya pintu kamar Iman. Setelah diulangnya berkali-kali baru terdengar ada yang bangun dari tempat tidur dan membuka pintu. Wajah Iman tampak kaget melihat Sari telah berdiri di depannya. Apalagi ketika wanita berkulit putih yang cantik itu langsung memasuki ruangannya. Agak kebingungan Iman melilitkan selimut tipisnya untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Melihat tubuh Iman yang tidak berbaju itu Sari menelan air liurnya. Lalu dengan nada agak ketus ia berkata, “Sana kamu mandi, jangan lupa gosok gigi.” Iman menatap kebingungan, “Sekarang bu?” Dengan nada kesal Sari menegaskan, ‘Ia sekarang ,,, udah gitu aja nggak usah pake baju segala.” Tergopoh-gopoh Iman menuju ke kamar mandi, memenuhi permintaan Sari. Sementara Iman di kamar mandi Sari duduk di kursi, sambil me!ihat-lihat sekitar kamar Iman. Pikirnya dalam hati, “Bersih, rapih juga ini anak.”
MENCOBA JANTAN
Kira-kira sepuluh atau lima belas menit berselang Iman telah selesai. “Maaf bu …,” katanya sambil memasuki ruangan. Ia hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.”Saya pake baju dulu bu,” katanya sambil melangkah menuju lemari pakaiannya. Dengan nada ketus Sari berkata,”Nggak usah. Kamu duduk aja di tempat tidur … Bukan, bukan duduk gitu, berbaring aja.” Lalu sambil melempar majalah yang dibawanya ia menyuruh Iman membacanya. Sambil melangkah keluar Sari sempat berkata “Sebentar lagi saya kembali.” Dengan kikuk dan kuatir Iman mulai membalik halaman demi halaman majalah porno di tangannya. Tapi ia tidak berani bertanya kepada Sari, apa sebenarnya yang wanita itu inginkan.
Setelah saat-saat yang menegangkan itu berlangsung beberapa lama, Iman mulai terangsang juga melihat berbagai adegan senggama di majalah yang berada di tangannya itu. Ia merasa ‘alat kejantanannya mengeras. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Sari melangkah masuk. Iman berusaha bangkit, tapi sambil duduk di tepi pembaringan Sari mendorong tubuhnya sampai tergeletak kembali. Tatapan matanya dingin, sama sekali tidak ada senyuman di bibirnya. Tapi tetap saja ia terlihat cantik. “Iman dengar kata-kata saya ya. Kamu saya minta melakukan sesuatu, tapi jangan sampai kamu cerita ke siapa-siapa. Mengerti?” Iman hanya dapat mengangguk, walaupun ia masih merasa bingung. Hampir ia menjerit ketika Sari menyingkap handuknya terbuka. Apalagi ketika tangannya yang halus itu memegang ‘barang kepunyaan’nya yang tadi sudah tegang keras. “Hm ….. Besar juga ya punya kamu,” demikian Sari menggumam. Diteruskannya mengocok-ngocok ‘daging kemaluan’ Iman, dengan mata terpejam. Pelan-pelan ketegangan Iman mulai sirna, dinikmatinya sensasi pengalamannya ini dengan rasa pasrah.
Tiba-tiba Sari berdiri dan langsung meloloskan daster yang dikenakannya ke atas. Bagai patung pualam putih tubuhnya terlihat di mata Iman. Walaupun lampu di kamar itu tidak begitu terang, Iman dapat menyaksikan keindahan tubuh Sari dengan jelas. Tertegun ia memandangi Sari, sampai beberapa kali meneguk air liurnya. Tidak lama kemudian Sari naik ke tempat tidur, diambilnya posisi mengangkangi Iman. Masih dengan nada ‘judes’ ia berkata … “Yang akan saya lakukan ini bukan karena kamu, tapi karena saya mau balas dendam. Jadi jangan kamu berpikiran macam-macam ya.” Lalu digenggamnya lagi ‘tonggak kejantanan” Iman dan diusap-usapkannya ‘bonggol kepala’nya ke bibir ke’maluan’nya sendiri. Terus menerus dilakukannya hal ini sampai ‘vagina’nya mulai basah. Lalu ditatapnya Iman dengan pandangan yang tajam. Katanya dengan suara ketus, … “Jangan kamu berani-berani sentuh tubuh saya.” Setelah itu, … “Juga jangan sampe kamu keluar di ‘punyaan’ saya. Awas ya.” Lalu di-pas-kannya ‘ujung kemaluan’ Iman di ‘bibir liang kewanitaan’nya dan ditekannya tubuhnya ke bawah. Pelan-pelan tapi pasti ‘barang kepunyaan’ Iman menusuk masuk ke ‘lubang kenikmatan’ Sari. ‘Aduh … Ah … Man, besar amat sih” demikian Sari sempat merintih. Setelah ‘kemaluan’ Iman benar-benar masuk Sari mulai menggoyang pinggulnya. Suaranya sesekali mendesah keenakan. Tidak lama kemudian dicapainya ‘orgasme’nya yang pertama. Hampir seperti orang kesakitan suara Sari mengerang-erang panjang. “Aah … Aargh … Aah, aduh enaknya … ” Seperti orang lupa diri Sari mengungkapkan rasa puasnya dengan polos. Tapi ketika Sari sadar bahwa kedua tangan Iman sedang mengusapi pahanya yang putih mulus, ditepisnya dengan kasar. “Tadi saya bilang apa …!” Iman ketakutan, … “Maaf bu.” Lalu perintah Sari lagi, … “Angkat tangannya ke atas.” Iman menurutinya, katanya … “Baik bu.” Begitu melihat bidang dada dan buluketiak Iman Sari kembali terangsang. Sekali lagi ia menggoyang pinggulnya dengan bersemangat, sampai ia mencapai ‘orgasme’nya yang kedua. Setelah itu masih sekali lagi dicapainya puncak kenikmatan, walaupun tidak sehebat sebelumnya. Iman sendiri sebetulnya juga beberapa kali hampir keluar, tapi karena tadi sudah di’wanti-wanti,’ maka ditahannya dengan sekuat tenaga. Rupanya Sari sudah merasa puas, karena dicabutnya ‘alat kejantanan’ Iman yang masih keras itu. Dikenakannya kembali dasternya. Sekarang wajahnya terlihat jauh lebih lembut. Sebelum meninggalkan kamar Iman sempat ia menunjukkan apresiasi-nya. “Kamu hebat Man …” lalu sambungnya “Lusa malam aku kemari lagi ya.” Setelah itu masih sempat ia berpesan, …. “O iya, kamu terusin aja sekarang sama Minah … Dia mau kok.” Iman hanya mengangguk, tanpa mengucapkan apa-apa.
Sampai lama Iman belum dapat tertidur lelap, membayangkan kembali pengalaman yang baru saja berlalu. Kehilangan ke’perjaka’an tidak membuat Iman merasa sedih. Malah ada rasa bangga bahwa seorang wanita cantik dari kalangan berpunya seperti Sari telah memilih dirinya.
PEJANTAN GAGAH
Sesuai pesannya dua malam kemudian Sari datang lagi ke kamar Iman. Kali ini pemuda itu sudah betul-betul menyiapkan dirinya. Jadi Sari tinggal menaiki tubuhnya dan menikmati ‘alat kejantanan’nya yang keras itu. Walaupun suaranya masih ketus meminta Iman untuk sama-sekali tidak menyentuh tubuhnya, kali ini Sari sampai meremas-remas dada dan pinggul Iman ketika mencapai ‘orgasme’nya. Bahkan tidak lupa wanita cantik itu sempat memuji pemuda yang beruntung itu. Katanya, … “Man, Pariman, kamu hebat sekali. Selama kawin aku belum pernah sepuas sekarang ini. Terma kasih ya.” Iman hanya menjawab terbata-bata, … “Saya … Saya … seneng … Hm … Bisa nyenengin bu Sari.” Sambil membuka pintu kamar Sari berpesan. Katanya, …. “Iya Man, tapi jangan bosen ya.” Lalu tambahnya lagi, … “Udah, sekarang kamu terusin sama Minah sana. Aku mau tidur dulu ya.”
Dua malam kemudian kembali Sari menyambangi kamar Iman. Kebetulan tanpa penjelasan apapun siangnya ia sempat meminta pemuda itu untuk mengganti seprei ranjang dan sarung bantalnya. “Man … Kamu capek nggak? Sari bertanya dengan lembut. Rupanya berkali-kali dipuaskan pemuda itu membuatnya sikapnya lebih ramah. Iman tersenyum, … “Nggak kok bu. Saya siap dan seneng aja melayani ibu.” Tanpa malu-malu langsung Sari melepaskan daster-nya. Setelah itu dilorotnya kain sarung Iman. Dengan takjub ia memandangi kepunyaan lelaki itu. Tanpa sadar sempat ia memuji, … “Aduh Man, udah besar amat sih kepunyaanmu.” Lalu sambil mengocok-ngocoknya Sari sempat berkata, … “Hm Man, keras lagi.” Lalu sambil membaringkan tubuhnya ia meminta, … “Kamu dari atas ya Man. Aku mau coba di bawah.” Langsung Iman memposisikan ‘kemaluan’nya di antara celah paha Sari. Lelaki muda itu betul-betul terangsang melihat kemolekan nyonya muda yang sedang marah kepada suaminya itu. Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa ia boleh mencicipi tubuh yang seputih dan semulus ini. Apalagi Sari sekarang tidak lagi judes dan ketus seperti pada malam-malam sebelumnya, sehingga semakin tampak saja kecantikannya. Sempat terpikir oleh pemuda itu mungkin judes dan ketusnya dulu itu hanya untuk mengatasi rasa malu dan gengsinya saja. “Man …” Sari memanggilnya lembut, setengah berbisik. “Iya bu …” “Kamu gesek-gesek punyaanmu ke punyaanku dulu ya. Terus masukinnya nanti pelan-pelan.” Diikutinya permintaan Sari, digesek-geseknya ‘bibir kemaluan’ Sari dengan ‘ujung kejantanannya.’ Sari mendesah kegelian, hingga membuat Iman lupa diri. Tangannya mulai mengusap-usap paha dan perut Sari. Tapi wanita cantik itu menepis tangannya. “Jangan sentuh tubuhku, jangan ….” serunya tegas. Iman segera berhenti, ditariknya tangannya. Tidak berapa lama kemudian terdengar Sari meminta. “Man, masukin pelan-pelan Man. Tapi ingat … Jangan sampai keluar di dalam ya.” Pelan-pelan Iman mendorong ‘batang keras’nya memasuki ‘liang kenikmatan’ Sari. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit, ‘tombak kejantanan’nya menerobos masuk. Sari terus mendesah keenakan. “Maaf bu, saya mohon ijin memegang paha ibu, supaya punya ibu lebih kebuka.” Akhirnya Iman memberanikan diri meminta. Dengan terpaksa Sari mengijinkan, … “Iya deh. Tapi bagian bawahnya aja ya.” Begitu diberi ijin Iman langsung melakukannya. Walaupun tubuhnya tegak, karena kuatir menetesi tubuh Sari dengan keringatnya, ia dapat menghunjamkan ‘barang kepunyaan’nya masuk lebih jauh. “Ah Man, enak sekali.” Sari berseru keenakan. Langsung Iman menggoyangkan pinggulnya, ke kanan dan ke kiri, mundur dan maju. Sari terus mendesah keenakan, semakin lama semakin keras. Pada puncaknya ia menjerit lembut dan mengerang panjang. “Aduh Man, aku udah. Aduh enak sekali. Aaah, Maaan …. Aaah!”
Sementara beristirahat Iman menarik keluar ‘batang kemaluan’nya dan melapnya dengan handuk. Dengan tatapan penuh hasrat Sari memandangi ‘kemaluan’ Iman yang tetap kaku dan keras. Pada ‘ronde’ berikutnya Iman yang bertindak mengambil inisiatif. “Maaf bu …” katanya sambil kedua tangannya mendorong paha mulus Sari hingga terbuka lebar. Sari hanya mengangguk lemah, sikapnya pasrah. Rupanya rasa gengsi atau angkuhnya sudah mulai sirna di hadapan pemuda pejantannya. Ditatapnya wajah Iman dengan seksama. Sekarang baru ia sadar bahwa Iman bukan hanya jantan, tapi juga lumayan ganteng. Begitu berhasil menembus ‘liang kemaluan’ Sari, yang merah merangsang itu, Iman mulai beraksi. Sekali lagi goyangannya berakhir dengan kepuasan Sari. … setelah itu sekali lagi …
Sari tergolek lemah. Dibiarkannya Iman memandangi tubuhnya yang terbaring tanpa busana. Mungkin karena itulah ‘alat kejantanan’ Iman, yang memang belum ber-’ejakulasi,’ tetap berada dalam keadaan tegang. “Man … ” suara Sari terdengar memecah keheningan. “Kamu kok hebat sekali sih? Udah sering ya?” Iman menggelengkan kepalanya. “Belum pernah bu. Baru sekali ini saya melakukan. Sama ibu ini aja.” Dengan heran Sari menatapnya, lalu tersenyum karena teringat sesuatu. Tanyanya langsung, … “Tapi udah dikeluarin sama Minah kan?” Jawab Iman, … “Belum kok bu.” Semakin heran Sari. “Lho yang kemarin-kemarin itu? Kan udah saya kasih ijin.” Dengan polos Iman menjawab, … “Iya bu, tapi saya nggak kepengen.” Sari penasaran, … “Lho kenapa?” Dengan polos Iman menjawab, … “Abis barusan sama ibu yang cantik, masa’ disambung sama mbak Minah. Rasanya kok eman-eman ya bu.” “Jadi selama ini kamu tahan aja?” Jawab Iman, … “Iya bu, menurut saya kok sayang.” Entah bagaimana Sari merasa senang mendengar jawaban Iman. Ada rasa hangat di hatinya. “Ah sayang aku udah puas. Mana besok mens lagi …” Tapi ada rasa kasihan juga yang membersit di hatinya. Hebat juga pengorbanan Iman, yang lahir dari penghargaan kepadanya itu. Akhirnya ia mengambil keputusan …
“Sini Man, sekarang kamu yang baring di sini.” Kata Sari sambil bangun dari posisinya semula. Iman menatapnya dengan pandangan bertanya, tapi diikutinya permintaan majikannya. Sari segera membersihkan ‘barang kepunyaan’ Iman dengan handuk. Karena dipegang-pegang ‘daging berurat’ milik Iman kembali mengeras penuh. Sambil duduk di tepi ranjang Sari mulai mengelus-elusnya. Sempat ia berdecak kagum menyaksikan kekokohan dan kerasnya. Dirasakannya ukuran ‘daging keras’ Iman yang besar, ketika berada dalam genggaman tangannya. Keenakan Iman, hingga matanya sesekali terpejam. Bibirnya juga mendesis, bahkan sesekali mengerang. Tangan kanannya di tempatkannya di bawah kepalanya. Tangan kirinya mengusap-usap lengan Sari yang sedang mengocok-ngocok ‘barang kepunyaan’nya. Kali ini Sari membiarkan apa yang pemuda itu ingin lakukan. Setelah beberapa saat berlalu Iman mulai mendekati puncak pengalamannya. “Bu, saya hampir bu” Lalu lanjutnya lagi, “Awas bu, awas kena, saya udah hampir.” Sari hanya tersenyum. Katanya, “Lepas aja Man, nggak apa-apa kok.” Setelah berusaha menahan, demi memperpanjang kenikmatan yang dirasanya, akhirnya Iman terpaksa menyerah. “Aduh bu aduuuh aaah …” Cairan kental ‘muncrat’ terlontar berkali-kali dari ‘daging keras’nya, yang terus dikocok-kocok Sari. Tanpa sadar kedua tangan Iman mencengkeram lengan Sari dan menariknya. Tubuh wanita itu tertarik mendoyong ke atas tubuh Iman. Akibatnya cairan kental Iman juga tersembur ke dada dan perutnya. Tapi Sari membiarkannya saja, seakan-akan menyukainya. Setelah ‘air mani’nya terkuras habis baru Iman sadar atas perbuatannya. “Maaf bu, saya tidak sengaja …” Matanya terlihat kuatir. Sari hanya tersenyum, “Nggak apa-apa kok Man.” Lalu sambungnya, … “Aduh Man, kentelnya punyaan kamu. Banyak amat sih muatannya. .” Iman bernafas lega, apalagi ketika dilihatnya Sari melap badannya sendiri, lalu setelah itu badan dan ‘batang terkulai’ miliknya dengan handuk.
Sambil bangkit berdiri Sari mengenakan dasternya. Lalu ia berdiri di depan Iman yang masih duduk di tepi pembaringan. “Menurut kamu aku cantik nggak Man?” Tanyanya kepada pemuda itu. “Cantik dong bu, cantik sekali.” Sambil mengelus pipi Iman ia bertanya lagi, … “Kamu bisa nggak sementara nahan dulu?” Iman terlihat kecewa, “Berapa hari bu?” Tersenyum manis Sari menjwab, Yah, sekitar 5-6 hari deh.” Iman mengangguk tanda mengerti dan menatapnya dengan pandangan sayang. Sari membungkuk dan meremas ‘batang kemaluan’ Iman yang masih lumayan keras. “Punya kamu yang besar ini simpan baik-baik ya buat aku.” Lalu dengan gayanya yang manis ‘kemayu’ ia membuka pintu dan melangkah keluar.
MENGUMBAR HASRAT
Sementara berlangsungnya masa penantian cukup banyak perubahan yang terjadi. Iman sekarang nampak lebih baik penampilannya daripada waktu-waktu sebelumnya. Rambutnya ia cukur rapi dan pakaian yang dikenakannya selalu bersih. Ia sendiri tampak semakin PD atau percaya diri, kalaupun sikapnya kepada Sari tetap sopan dan santun. Apalagi ia yang dulu-dulu tidak pernah dipandang sebelah mata, oleh nyonyanya, sekarang sering diajak mengobrol atau menonton TV. Semua ini tentu saja menimbulkan tanda-tanya, terutama dari orang-orang seperti Minah. Apalagi Sari sering tanpa sadar membicarakan tentang Iman, dengan nada yang memuji. Di waktu malam Sari kadang-kadang terlihat melamun sendiri. Tapi rupanya bukan memikirkan tentang suaminya yang lama bertugas ke luar Jawa. Ia malah sedang merindukan orang yang dekat-dekat saja.
Setelah selesai masa menstruasi-nya Sari masih menunggu dua hari lagi, setelah itu baru ia merasa siap. Sore itu ketika berpapasan dengan Iman ia memanggilnya. “Shst sini Man.” Iman menghampirinya, … “Ada apa bu?” Dengan berseri-seri Sari menjelaskan, … “Nanti malam ya.” Iman merasa senang. “Udah bu? Kalau begitu saya tunggu di kamar saya ya bu. Nanti saya beresin.” Tapi kata Sari, … “Ah jangan, kamu aja yang ke kamarku. Jam 11-an ya?” Sambil melangkah pergi dengan tersenyum Iman mengiyakan.
Sari benar-benar ingin tampil cantik. Dibasuhnya tubuhnya dengan sabun wangi merk ‘channel.’ Tidak lupa dikeramasnya juga rambutnya yang hitam, panjang dan lebat itu. Lalu dikenakannya gaun malam yang paling ’sexy,’ yang terbuka punggung dan lengannya. Sengaja tidak dipakainya ‘bra.’ Setelah itu masih dibubuhinya tubuhnya dengan ‘perfume’ dan sedikit kosmetik. Begitu juga dengan Iman. Setelah mandi dan keramas dipakainya ‘deodorant’ dan ‘cologne’ pemberian Sari. Jam sebelas kurang sudah diketuknya pintu ruang tidur utama, yaitu kamar Sari.
Sari membuka pintu dan menggandeng tangan Iman. Pemuda itu tertegun menyaksikan kecantikan wanita yang berkulit putih itu. Sari mengajak Iman duduk di tepi ranjang. Ditatapnya mata pemuda itu yang balik menatapnya dengan rasa kagum. Sari tersenyum. “Malam ini kamu hanya boleh manggil aku Sari atau sayang. Mau kan?” Iman mengangguk sambil menelan ludah. Kata Sari lagi, … “Malam ini ini kamu boleh memegang saya dan melakukan apa aja yang kamu mau.” Agak gugup Iman menjawab, … “Eng … Terima kasih … Eng … Sayang. Kamu kok baik sekali. Kenapa? Saya ini orang yang nggak punya apa-apa dan nggak bisa ngasih apa-apa.” Sari merangkulkan tangannya ke leher Iman dan menidurkan kepalanya di bahu iman. “Kamu salah Man. Kamu itu laki-laki yang bisa memberi saya kepuasan yang total. Sejak kawin saya belum pernah mengalami seperti yang saya dapat dari kamu.” Lalu sambil tersenyum Sari meminta, … “Sini Yang, cium aku.” Iman mendekatkan bibirnya ke bibir Sari, lalu menciumnya. Tapi karena kurang berpengalaman akhirnya Sari yang lebih agresif, baru kemudian Iman mengikuti secara lebih aktif. Kedua bibir itu akhirnya saling berpagutan dengan penuh semangat. Dengan penuh gairah Sari melepas baju Iman. Sebaliknya Iman agak malu-malu pada awalnya, tapi akhirnya menjadi semakin berani. Dilepasnya gaun malam Sari, sambil diciuminya lehernya yang ramping, panjang dan molek itu. Dengan gemas tangannya meremas buah dada Sari yang ranum. Karena Sari membiarkan saja akhirnya ia berani menciumi, lalu mengulum puting buah dada yang indah itu. Sari kegelian. Tangannya mengusap-usap tonjolan di celana Iman. Kemudian dibukanya ‘ruitslijting’ celananya. Tangannya menguak celana dalam Iman dan masuk untuk menggenggam ‘batang kemaluan’nya yang telah mengeras. Tangan Iman juga langsung melepas celana dalam Sari, kemudian langsung ditaruhnya tangannya di celah paha Sari. Wanita cantik itu mengerang nikmat, rupanya sebelum dengan Iman rasanya cukup lama juga ‘milik berharga’nya itu tidak disentuh tangan lelaki. Kemudian Sari berlutut di depan Iman, hingga membuat pemuda itu merasa jengah. Ditariknya celana panjang Iman, sampai lepas. Lalu dimintanya Iman berbaring di tempat tidur.
Iman sempat merasa agak kikuk, tapi gairah Sari segera membuatnya merasa nyaman. Dipeluknya wanita itu dikecup-kecupnya lengan, dada, perut, bahkan pahanya. Karena kegelian Sari mendorong dada Iman hingga sampai terbaring. Sekarang gantian ia yang menciumi tubuh pemuda itu. Dengan mantap dilorotnya celana dalam Iman hingga terlepas. Cepat digenggamnya ‘batang kemaluan’ Iman yang sudah tegang keras berdenyut-denyut. “Man, Iman, besarnya punya kamu. Keras lagi …” Iman tersenyum, … “Abis kamu cantik sih Yang.” Sambil mengocok-ngocok ‘kemaluan’ Iman dengan manja Sari berkata, … “Rasanya aku gemes deh Man.” Iman tersenyum nakal, entah apa yang ada dipikirannya. Ia hanya menanggapi singkat, … “Kalau gemes gimana dong Yang?” Sari tersenyum manis. Tiba-tiba diciuminya ‘kemaluan’ Iman, hingga membuat pemuda itu terkejut. Dengan tatapan heran, tapi senang, dilihatnya Sari kemudian menjilati ‘alat kejantanan’nya. Mulai dari ‘bonggol kepala,’ terus sepanjang ‘batang’nya, bahkan sampai ke ‘kantung buah zakar’nya. Ketika Sari mengulum ‘kemaluan’nya di mulutnya Iman mengerang keenakan. “Aduh sayang, aduh enak sekali … Ah enaknya.”
Akhirnya Iman tidak tahan lagi. Ditariknya Sari dengan lembut lalu dibaringkannya terlentang. Didorongnya kedua paha Sari hingga terbuka lebar. Masih sempat diciumi dan dijilatinya tubuh Sari bagian atas, termasuk mengemut puting buah dadanya seperti bayi yang lapar. Lalu pelan-pelan didorongnya ‘alat kejantanan’nya masuk, menguak bibir ‘vagina’ Sari yang ranum, menyusuri liang kenikmatannya. “Pelan-pelan Man, … Punya kamu terasa besar amat sih malam ini, … Aah …” Sari mengerang keenakan. Akhirnya dengan sentakan terakhir Iman menghunjamkan ‘batang kemaluan’nya yang besar itu masuk. Begitu ia menggoyang pinggulnya Sari langsung mendesah. Rasanya nikmat sekali digagahi pemuda yang penuh vitalitas dan enerji ini. Iman terus menggerakkan ‘alat kejantanan’nya maju mundur, hingga membuat Sari mendesah dengan tanpa henti. Akibat gaya Iman yang agresif ini Sari tidak mampu menahan dirinya lebih dari 10 menit. Ia merasa seperti dilambungkan tinggi, sewaktu dicapainya puncak ‘orgasme’nya yang pertama. “Aduh Man, aduh, aku sayang kamu …. Aaah” Erangan panjang keluar dari bibir Sari. Tapi Iman ternyata masih kuat. Diteruskannya gerakan maju-mundur dengan pinggulnya. Akibatnya sensasi nikmat Sari, yang tadi hampir mereda, mulai meningkat lagi. Lima belas menit atau dua puluh menit berlalu sampai terdengar lagi jeritan Sari. “Man … Pariman … Yang … Aku lagi … Yang … Aaah … Aaah” Sekali inipun Iman merasa sudah hampir tiba di ujung daya tahannya. “Sari … Sayang, saya hampir …. Boleh?” Dengan nafas tersengal-sengal Sari memintanya, … “Iya Man, lepas sekarang Man …” Segera Iman mendorong dengan hentakan-hentakan keras. “Sari … Sayang … Aaah” Begitu Iman menyemburkan ’sperma’nya ke dalam ‘vagina’ Sari, ujung kepala kemaluannya berdenyut-denyut. Akibatnya Sari kembali merasa kegelian yang nikmat. “Man aduh Man aduh …”
Sari terkulai lemah. “Peluk aku dong Yang …” Disusupkannya kepalanya di ketiak Iman. Tangannya mengusap-usap dadanya yang berkeringat. “Kamu puas Man …?” Tanya Sari kepada Iman. “Puas Sayang, puas sekali” Dalam keheningan malam mereka berdua terbaring saling berpelukan, sampai Iman merasa tenaganya pulih. Sekali lagi ia minta dilayani. Walaupun Sari sudah merasa cukup, dipenuhinya kemauan pejantan mudanya itu. Dengan kagum dirasakannya bagaimana sekali lagi ia dipuaskan oleh birahi Iman. Akhirnya baru menjelang subuh Iman beranjak pergi untuk kembali ke kamarnya.
0 komentar:
Posting Komentar