SURTI
Misalnya hari ini, hari Selasa di pertengahan bulan yang kebetulan sedang kemarau. Pagi-pagi sekali, sebelum mandi dan sarapan, Bari sudah menelusup ke leher istrinya, mencium dan menggigit-gigit kecil untuk membangunkan Surti. Sebetulnya Surti sendiri sudah terbangun sejak tadi, cuma masih malas membuka mata. Ia memeluk erat-erat suaminya, menggelinjang sambil tertawa kecil.
“Kamu tidur dengan pakaian lengkap, seperti mau upacara bendera!”, protes Bari sambil meremas-remas bagian belakang tubuh Surti.
“Ya, ampun” keluh Surti, “Masak seperti ini disebut pakaian lengkap?”.
“Lha, iya!” sergah Bari lagi, “Masak tidur memakai beha dan celana dalam segala”.
Surti tergelak, dia selalu memakai keduanya. Kenapa baru sekarang dipersoalkan? Pasti ada maunya.
“‘Makan’, yuk!”, bisik Bari sambil menelusupkan kepalanya lebih ke bawah lagi, ke antara dua bukit di dada istrinya. Hmm.., lelaki itu selalu suka menghirup keharuman lembut dari sana.
“Aku belum pingin..” goda Surti, tetapi sambil meraih ke belakang dan melepaskan kait BH-nya. Sekejap kemudian ia menarik lolos BH itu dari balik dasternya. Payudaranya segera terbebas.
“Memang aku yang mau makan kamu..”, kata Bari sambil menarik turun daster istrinya.
Segera dada Surti yang subur sekal segar itu terpampang. Cepat-cepat Bari menelusuri bulatan sintal yang menggairahkan itu dengan hidung dan mulutnya. Hmm.., tambah harum jika dicium tanpa penghalang seperti ini.
“Pelan-pelan, yaa..” bisik Surti sambil menggelinjang, “Nanti kamu tersedak”.
Bari menjulurkan lidahnya, menelusuri lembah di antara dua payudara istrinya. Hmm.., agak asin karena ada sedikit bekas keringat di sana. Tapi tambah asyik. Bari naik ke bagian atas, melingkari wilayah bulat coklat hitam di pangkal puting Surti. Hmm.., di sini tidak begitu asin.
“Aah.., geli, Yang..”, desah Surti, tetapi sama sekali tidak bermaksud memprotes.
Bari berputar-putar lagi di tempat yang sama, dengan takjub melihat puting yang tadinya tergolek lemah kini perlahan menegak tegang. Setelah tegak sepenuhnya, tak tahan lagi, Bari memasukkan puting itu ke mulutnya. Pelan-pelan disedotnya daging kenyal hangat itu.
“Aah.., geli sekali, Yaang..” erang Surti, sama sekali tidak memprotes, melainkan justru bermaksud menambah semangat suaminya.
Dalam sekejap puting kiri Surti sudah basah dan berdenyut hangat. Warnanya tidak lagi coklat semata, tetapi juga bertambah gelap dan agak merona merah. Apalagi Bari juga kadang-kadang memainkan lidahnya di dalam mulut, menekan-nekan puting itu ke kiri dan ke kanan.
“Yang satu lagi ngiri, Yaang..” desah Surti gelisah, sambil meremas sendiri payudaranya yang sebelah kanan.
Bari melepaskan mulutnya dari payudara kiri, berpindah cepat ke payudara kanan. Surti mengerang keras, menggelinjang gelisah, karena Bari kini meremas payudara kiri yang telah ditinggalkan mulutnya. Kini kedua bukit gairah sensual itu terasa geli belaka. Sambil mendesis dan mendecap seperti orang kepedasan, Surti memejamkan matanya, menikmati sensasi luar biasa di pagi yang segar ini!
Bari sendiri sangat terangsang kalau bermain-main di payudara istrinya. Ia suka sekali menyedot.., mengulum.., meremas dan kadang menggigit pelan kedua bukit lembut yang hangat dan harum itu. Rasanya seperti bermain-main di suatu masa lampau, mungkin ketika ia masih kecil dulu, dalam buaian Ibu yang memberinya susu penuh gizi. Mungkin semua lelaki begitu, suka bermain-main di susu wanita karena terkenang masa hangat bahagia di pelukan Wanita Mulia yang melahirkannya.
Surti menelentangkan diri, membentangkan tangannya di atas kepala, sehingga dadanya lebih bebas terbuka. Bari mengangkat badannya, naik menjelajah payudara yang menjulang menantang itu dengan gairah yang semakin membara. Lalu satu tangannya merayap turun sambil membawa serta daster istrinya. Sekali tarik, daster itu lolos dari kedua kaki Surti, sehingga kini tinggal celana dalam yang membungkus tubuhnya. Tidak sabar membuka celana dalam itu, Bari menelusupkan tangannya ke bawah, meraih selangkangan istrinya yang dengan otomatis membuka memberi jalan.
“Aah..!” Surti mengerang keras ketika jari tengah Bari menerobos di antara dua bibir di bawah sana. Rasanya seperti dibelah dua oleh kenikmatan!
Sambil terus mengulum dan menyedot dan menggigit, Bari mengelus-elus lembut lembah cinta istrinya yang mulai membasah. Sekali-sekali ujung jarinya memutar-mutar di atas tombol cinta yang cepat sekali mengeras, terselip di pojok atas bibir kewanitaannya. Surti mengerang-erang semakin keras dan semakin gelisah.
“Buka dulu piyama kamu, Yang..” desah Surti sambil mulai membukai kancing-kancingnya. Cukup susah melakukan hal itu karena Bari tidak mau lepas dari dada dan selangkangan istrinya. Tetapi bukan Surti namanya kalau tidak bisa membuka baju suaminya dalam 5 menit.
“Enam sembilan, Yang..” desah Surti gelisah, nafasnya memburu ingin segera diciumi di bawah sana dan juga ingin menciumi suaminya.
Bari tidak banyak membantah dan segera mengatur posisi sehingga kini mereka bisa saling hisap, saling kulum, saling sedot, penuh gairah dan penuh rasa kasih yang tak berbatas. Surti mengerang-erang dengan mulut dipenuhi kejantanan suaminya. Bari mendesah-desah sambil menenggelamkan mukanya di antara dua paha mulus istrinya. Decap dan desah saling bersusulan ramai sekali. Erotik sekali.
Tidak lama kemudian, keduanya tak tahan lagi. Seperti ada komando khusus, keduanya saling memposisikan diri. Surti menelentang dan membuka kedua pahanya lebar-lebar. Bari mengangkat tubuhnya dalam posisi push up di atas tubuh istrinya. Lalu, sambil dituntun tangan Surti, lelaki itu menekan dalam-dalam.
“Aah!” Surti menjerit sambil memejamkan matanya erat-erat. Kejantanan suaminya yang kenyal itu menerobos masuk dengan lancar, langsung membentur bagian yang paling dalam.., langsung memicu orgasmenya. Cepat sekali!
Sambil bertumpu di kedua sikunya, Bari menenggelamkan mukanya di leher Surti yang sudah dibasahi keringat. Sambil mencium dan menggigit-gigit kecil, lelaki itu mulai menggenjot, mengeluar masukkan kejantanannya penuh semangat. Surti mengangkat kedua kakinya, memeluk pinggang suaminya erat-erat, mengunci tubuh yang juga sudah berkeringat itu kuat-kuat. Perjalanan menuju puncak birahi.
“Ah.., yang keras, Yang!” desah Surti, merasakan orgasmenya sudah tiba, dan ia ingin digenjot sekeras-kerasnya!
Bari menekan lebih keras lagi, sampai kadang-kadang ranjang seperti bergeser diterjang tubuhnya. Pangkal kejantanannya membentur lingkar bibir kewanitaan Surti yang sedang berdenyut-denyut mempersiapkan ledakan pamungkas.
“Aah!” Surti menjerit merasakan ledakan pertama menyeruak dari dalam tubuhnya, “Ngga tahan, Yang.., aah!”
Bari terus menekan dan menghunjam, ia sendiri juga sudah ingin meledak rasanya. Seluruh perasaannya seperti ingin tumpah ruah sesegera mungkin. Apalagi otot-otot kenyal di kewanitaan istrinya kini mencekal erat, seperti meremas-remas dan mengurut-urut kejantanannya. Bari juga tidak tahan lagi.
“Uuuh!” pria itu menggeram sambil menggenjot keras-keras lima kali.
“Ah.., ah.., ah.., ah..!” Surti mengerang setiap kali enjotan mahadahsyat itu menerjang tubuhnya.
“Aah!” Bari mengerang keras, menancapkan dalam-dalam kejantanannya dan bertahan di sana ketika lecutan-lecutan ejakulasi melanda seluruh tubuhnya.
“Oooh!”, Surti mendesah panjang merasakan cairah panas tumpah ruah di dalam kewanitaannya dan seperti memberi penyedap utama bagi geli orgasmenya.
Permainan cinta pertama ini cepat sekali. Tidak lebih dari 15 menit. Tetapi dilakukan dengan sangat bergairah, sehingga setelah mencapai puncak, Bari rubuh menubruk istrinya. Surti tersengal menahan tubuh suaminya, dan menelentang tak berdaya dengan sendi-sendi yang seperti copot!
Diperlukan cukup banyak ekstra energi ketika akhirnya Bari bangkit meninggalkan ranjang untuk mandi dan bersiap ke kantor. Surti tinggal di tempat tidur beberapa lama lagi, memejamkan mata, merasakan dan membiarkan cairan cinta mereka perlahan-lahan merayap turun membasahi sprei. Biarlah! sergahnya dalam hati, sudah waktunya sprei itu diganti.
Baru setelah Bari terdengar selesai mandi, wanita itu bangkit dan mengelap tubuhnya sebelum ikut masuk ke kamar mandi. Kemudian keduanya sarapan pagi yang sesungguhnya, sambil tersenyum-senyum mengingat kegilaan mereka pagi ini.
“Makan apa, sih, kamu tadi malam?”, sergah Surti sambil menyuap nasi gorengnya.
“Nggak makan apa-apa. Biasa saja, steak dan kentang goreng” sahut Bari, teringat bahwa tadi malam ia memang makan malam bersama relasi kantor. Tetapi tak ada yang istimewa di makanan itu. Bahkan sebetulnya ia tak makan banyak karena masih merasa kenyang.
“Sering-sering, deh, begitu..”, kata Surti sambil melirik nakal.
“Nanti kamu kewalahan, lho!” kata Bari sambil mencubit hidung istrinya.
“Hey.., siapa bilang!” sergah Surti, “Jangan-jangan kamu yang kewalahan”.
Bari tersenyum sambil meneguk kopinya, “Nanti kita buktikan saja, lah!” katanya.
Dan siang itu Bari menelepon mengatakan akan makan siang di rumah. Surti masih sibuk di studio fotonya ketika Bari tiba dengan dua bungkus mie goreng dan sebotol besar minuman ringan kesukaan mereka. Tahu-tahu suaminya sudah ada di belakang, memeluk dan mencium tengkuknya.
“Sebentar, ya, Yang..” kata Surti sambil membereskan kamera dan film-filmnya, “Kamu duluan, deh. Nanti aku susul ke meja makan!”
“Ngga mau”, kata Bari tetap memeluk dan menciumi kuduk Surti.
“Eh, bandel, ya!” sergah Surti sambil terus bekerja membereskan mejanya, sambil menggelinjang kegelian pula karena diciumi di daerah sensitifnya.
“Biar bandel, asal ganteng!” kata Bari terus mencium, dan sekarang bahkan memegang-megang dada istrinya yang cuma terbungkus kaos. Surti tertawa. Siapa bilang suamiku jelek? katanya dalam hati, dia paling ganteng betapa pun nakal dan bandel dan keras kepalanya!
“Di sini saja, yuk!” bisik Bari sambil menggigit cuping istrinya, membuat wanita itu menjerit kegelian.
“Aduuh, nanti ngga selesai-selesai, nih!”, keluh Surti sambil sibuk menurunkan tangan Bari dari dadanya. Tetapi begitu diturunkan, begitu cepat naik lagi. Bahkan yang satu sudah masuk menelusup ke balik kaos, dan sudah mengusap-usap. Celakanya lagi, dada yang diusap itu bereaksi positif!
“Nanti saja beres-beresnya”, kata Bari lagi sambil menarik istrinya ke sebuah kursi panjang di dekat tembok.
“Eh, apa-apaan.., Koq di sini makannya? Nanti studioku banyak semut!” protes Surti ketika Bari tidak sabar lagi dan membopong istrinya menuju kursi yang selama ini dipakai untuk tiduran kalau Surti ingin beristirahat di tengah kerjanya.
“Siapa yang mau makan di studio?”, tanya Bari sambil dengan hati-hati menurunkan Surti di atas kursi yang dilengkapi dengan bantal-bantal itu.
“Habis, kita mau ngapain?” Surti mengernyitkan keningnya, melihat suaminya membuka dasi.
“Mau bikin film matinee!” sergah Bari sambil duduk dan menciumi leher Surti.
Astaga! Surti baru sadar apa yang dimaksud suaminya. Gila! Padahal tadi pagi ia sudah mengajak bercumbu. Sekarang, belum lagi pukul 1 siang, dia sudah bergairah lagi. Benar-benar surprise.
Surti menjerit kegelian ketika Bari tiba-tiba menyingkap kaos, dan menenggelamkan mukanya di antara kedua payudara yang memang tak tertutup BH itu. Wanita itu tak bisa banyak bergerak karena di desak sampai ke tembok, dan karena suaminya menindih tubuhnya dengan bergairah. Tetapi tentu saja ia sebetulnya juga tidak mau banyak berontak! Ia suka diperlakukan dengan penuh gairah seperti ini.
“Baju kamu nanti lecek, Yang!” sergah Surti melihat suaminya seperti kesetanan. Biarpun ia sedang kegelian, wanita itu masih sempat memikirkan baju pria kesayangannya! Begitulah mulianya hati seorang istri.
“Nanti ganti saja..”, desah Bari tak peduli. Lelaki memang maunya praktis saja.
“Sabar, Yaang..” bisik Surti sambil menahan tawa karena melihat Bari seperti bayi kehausan mencari-cari puting susunya. “Masih ada waktu, kan?”.
Bari tak menyahut. Ia sibuk menelusup dan menelusur dada istrinya. Lalu sibuk mengulum dan menyedot, membuat si empunya dada mengerang dan menggelinjang.
“aah..” Surti mendesah, mendorong dadanya ke depan sambil merengkuh leher suaminya. Tadi ia bilang “sabar”, sekarang justru dia yang tidak sabar!
Siang ini Surti bekerja dengan kaos t-shirt dan celana pendek longgar. Kaos sudah disingkap sampai ke leher. Maka, sambil menggeliat-geliat merasakan mulut suaminya yang sangat aktif itu, Surti membuka celananya sendiri, memelorotkan sekaligus bersama celana dalamnya. Nah, sekarang ia sudah telanjang dari dada ke bawah. Sudah bebas diperlakukan apa saja oleh suaminya.
Bari memposisikan tubuhnya di sisi kursi panjang tempat mereka bercinta. Lalu ia membuka ikat pinggang dan celananya sendiri. Keduanya seperti sudah sepakat untuk saling membuka pakaian tanpa ada aba-aba sebelumnya. Maklumlah, suami istri ini memang sangat kompak!
Tidak lama kemudian keduanya sudah telanjang, walau Bari masih memakai baju dan Surti masih memakai kaos di atas dadanya. Sambil terus mengulum dan menciumi payudaranya, Bari menempelkan tubuhnya lekat-lekat ke tubuh mulus Surti. Hmm.., di siang yang gerah seperti ini, nyaman sekali rasanya bersentuhan kulit dengan orang yang terkasih. Walaupun sebetulnya mereka berdua sudah mulai berkeringat, tetapi tetap saja nikmat rasanya menempel seperti perangko dan amplopnya.
“Ngg..” Surti mengerang sambil merenggangkan pahanya, “Jangan dimasukkan dulu, Yang..”.
Bari tak menyahut, tetapi ia mengerti maksud istrinya. Biar bagaimanapun, istrinya tentu belum siap menerima percumbuan tanpa rencana ini. Harus ada sedikit upaya untuk membuatnya siap. Sedikit saja, tetapi harus!
“mm..” Surti mendesah merasakan ujung kejantanan suaminya menelusur celah sempit di antara kedua pahanya, menimbulkan rasa nikmat yang perlahan-lahan menyeruak ke seluruh tubuh.
Dengan satu tangannya, Bari menuntun kejantanannya naik turun di sepanjang celah yang mulai membasah itu. Oh, geli sekali rasanya ujung kejantanannya menyentuh lembah halus dan licin yang seperti kelopak bunga terkuak perlahan. Sekali-sekali ia memutar-mutar ujung tumpul itu di permukaan liang senggama istrinya, merasakan liang itu semakin lama semakin lebar membuka, menyatakan kesediaan untuk di eskplorasi. Sekali-kali ia naikkan kejantanannya, menggosok-gosok lembut bagian yang tersempil menonjol di lipatan atas bibir kewanitaan istrinya. Itu bagian paling sensitif yang dengan cepat membuat Surti mengerang dan semakin merenggangkan pahanya.
“Aah.., nikmat itu, Yang..” Surti berbisik mendesah dengan mata terpejam, “Oooh.. lagi, Yang!”
Bari mengulang lagi. Dengan sabar ia terus menggosok-gosokkan kejantanannya, menggunakannya sebagai alat pemicu birahi istrinya. Perlahan-lahan ia mulai merasakan celah sempit di bawah itu mulai membuka dan basah. Kalau ia membawa ujung kejantanannya ke liang kewanitaan Surti, terasa liang itu seperti mau menangkap dan menarik kejantanannya masuk. Sekali-sekali Bari memang menenggelamkan seluruh kepala kejantanannya ke dalam. Surtipun mengerang setiap kali suaminya melakukan itu.”mm..” Surti mengerang penuh nikmat, “Dikit lagi, Yang.. ooh”, bisiknya.
Bari mendorong masuk sedikit, sehingga seperempat kejantanannya melesak masuk. Wow.., liang yang dimasuki itu masih agak sempit dan berdenyut-denyut.
“Uuuh..” Surti mendesah sambil menggeliat, “Di situ aja dulu, Yang..”.
Bari tertawa kecil sambil bergumam, “Kamu banyak maunya!”.
Surti ikut tertawa, dan memprotes manja, “Jangan becanda, dong. Aku kan lagi serius, nih!”
Bari menahan tawanya, sambil menciumi leher istrinya yang sedang terpejam dan megap-megap merasakan nikmat. “Ada-ada saja istriku, masak bercumbu saja pake serius-seriusan segala!”, Tetapi Bari memang pernah juga membaca, bahwa wanita memang lebih memerlukan keseriusan dalam bercumbu. Wanita mudah terangsang kalau seluruh pikirannya tercurah untuk percumbuan. Sedikit saja pikirannya terganggu, seorang wanita bisa kehilangan gairah. Walaupun begitu, rasanya dengan Surti teori itu tidak selalu berlaku.
“Aah..” terdengar Surti mulai mendesah lagi, dan pinggulnya berputar-putar gelisah, “Dikit lagi Yang.., tapi jangan semuanya..”
Oke boss! ucap Bari, tetapi dalam hati. Pelan-pelan ia mendorong masuk kejantanannya, menerobos liang yang semakin membuka tetapi juga semakin berdenyut seperti mulut kecil yang sedang sibuk mengulum permen kesukaan. Surti menggeliat dan menggerang lagi. Bari mendorong sedikit lagi, sehingga kini tiga perempat kejantanannya terhenyak sudah.
“Oooh..” Surti mengerang sambil memutar-mutar pinggulnya. Bari bertumpu pada sikunya, berusaha menjaga agar kejantanannya tidak seluruhnya masuk. Dengan gerakan-gerakan Surti, rasanya kejantanan itu seperti sedang mengaduk-aduk sebuah wahana lentur dan kenyal yang basah dan licin. Bari melihat ke bawah, terpesona memandang kejantanannya yang tampak sedikit di atas cekalan bibir kewanitaan istrinya yang berputar-putar penuh gairah.
Surti memejamkan mata dengan nafas memburu, merasakan betapa nikmatnya memutar-mutar pinggul dengan batang kenyal dan padat tertanam sedikit di gerbang kewanitaannya. Gerakan memutar itu menyebabkan seluruh lingkar luar liang senggamanya seperti diurut-urut, menimbulkan rasa geli dan gatal yang menggairahkan. Inilah salah satu pemanasan.., permainan awal.., yang disukainya. Dengan begini, ia akan segera siap menuju langkah berikutnya.
“aah..” Surti mengerang keras, menggeliat gelisah, “Ayo masukin semua, Yang..”
Oke, boss! ucap Bari dalam hati lagi. Pelan-pelan ia menurunkan tubuh bagian bawahnya, dan pelan-pelan kejantanannya melesak masuk sampai ke pangkalnya. Begitu terhenyak 100%, Surti mengerang keras dan menghentikan gerakan pinggulnya. Wow! Bari merasakan dirinya tenggelam dalam lubang dalam yang panas dan basah dan berdenyut. Merasakan ujung kejantanannya membentur dinding halus nan licin bagai sutra dilapisi cairan khusus. Sejenak pria itu diam saja menikmati sensasi luar biasa di sepanjang kejantanannya.
Surti mengerang, mendesah dan merengkuh tubuh suaminya erat-erat. Kedua kakinya membentang seluas mungkin lalu naik memeluk pinggang Bari, mengunci tubuh mereka dalam sebuah persatuan yang menggairahkan. Sejenak mereka diam saja, saling memeluk dan berciuman mesra, merasakan persetubuhan di siang bolong yang terik ini. Keduanya sudah agak berkeringat, dan kedua payudara Surti yang sintal sudah terhenyak rapat di bawah dada suaminya yang masih memakai kemeja. Tak rela berpelukan dengan baju, wanita itu cepat-cepat membuka kancing-kancing suaminya. Sekejap kemudian keduanya mengerang karena akhirnya tak ada lapisan yang membatasi pertemuan tubuh mereka. Kedua puting susu Surti terasa nikmat di tekan dan di tindih oleh dada suaminya yang bidang dan kukuh itu. Baripun merasa nikmat tertelungkup di atas hamparan lembut kenyal dada istrinya.
“Begini aja, yuk!” desah Surti sambil menciumi muka suaminya penuh kemesraan. Ia senang sekali tertancap menjadi satu seperti ini.
“Cuma diam begini?” tanya Bari dengan nada lucu sambil membalas ciuman istrinya.
Surti tertawa kecil di tengah nafasnya yang memburu, “Boleh gerak, dikiit..” bisiknya manja.
“Seperti ini?”, tanya Bari sambil mulai menggerakkan pinggulnya memutar-mutar perlahan.
“Mmhh..” Surti menjawab dengan erangan. Aduh ini, sih, terlalu sedikit, pikirnya menyesal mengatakan “dikit” tadi.
“Atau begini?”, tanya Bari sambil menaik turunkan pinggulnya, pelan-pelan saja.”Aah..” Surti mendesah dengan nafas semakin memburu, “Dua-duanya, Yang.., Oooh.., Aku suka dua-duanya, Yang!”
Bari tersenyum dan dengan gemas mencium mulut istrinya, membungkam si ceriwis yang menggairahkan itu. Segera pula ia mengerjakan “dua-dua”nya, yakni menaik turunkan pinggulnya sambil memutar-mutar. Tetap dengan gerak lambat namun mantap. Kejantanannya dengan perkasa menyeruak masuk ke liang cinta istrinya yang kini sudah terbuka pasrah dan basah. Lancar sekali otot pejalnya itu menerobos, menimbulkan suara-suara seksi berkecipak ramai.
“Aah.., Ngg..”, Surti mengerang tidak karuan sambil megap-megap dan memejamkan matanya, berkonsentrasi menikmati hunjaman suaminya yang perkasa. Bari melepaskan ciumannya, karena Surti seperti ingin bicara. Lalu terdengar wanita itu mendesah penuh permohonan yang manja, “Boleh lebih cepat.., ooh.., Yang.., aku mau, Yang.., aah!”
Pura-pura tidak mau, tahu-tahu paling mau! sergah Bari dalam hati sambil menahan tawanya. Ia mempercepat hunjaman dan tikaman kejantanannya. Kursi panjang tempat mereka bercumbu berderit-derit ramai, karena sebetulnya itu bukan tempat bercumbu. Surti mengerang-erang sambil mencengkram pinggang suaminya, ikut membantu menaikturunkan tubuh Bari. Padahal lelaki itu tak perlu bantuan, tetapi mungkin dengan berpegangan ke pinggang seperti itu, Surti bisa memastikan bahwa suaminya tidak akan berhenti!
Setelah kira-kira selusin kali menggenjot, Bari merasakan liang kewanitaan istrinya menyempit dan mencekal erat. Itu pertanda awal orgasmenya. Surtipun sudah mengerang-erang semakin keras dan menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Bari mengerti tanda-tanda ini sepenuhnya. Maka ia mempercepat dan memperkeras gerakannya. Bahkan kadang-kadang ia menghentak dan menghunjam dengan gerakan kasar, membuat kursi panjang bergetar dan bergeser sedikit. Tetapi justru itu membuat Surti tambah keenakan, dan setelah tiga empat kali “dikasari” seperti itu, wanita ini mencapai puncak birahinya.
“mm..” ia mengerang panjang, lalu berteriak pendek-pendek, “Ah.. ah.. ah..!”
Bari menghunjam dalam-dalam, lalu memutar dan menekannya dengan sekuat tenaga.
“Oooh!” Surti menjerit keras, meregang dan melentingkan tubuhnya, lalu terhempas kembali ke bawah sambil bergetar kuat seperti orang yang kena hukuman di kursi listrik. Kursi berderit-derit ramai, dan Bari menekan tubuh istrinya kuat-kuat agar mereka berdua tidak terlempar ke lantai. Bagi Surti, orgasme itu sangat dahsyat. Seluruh tubuhnya ikut tersaput ledakan-ledakan kenikmatan yang bermuara di kedua pangkal pahanya. Dari lembah basah yang tersumpal batang liat dan pejal itulah datangnya gelombang besar yang melanda seluruh tubuhnya. Surti seperti merasa berenang terapung dan terombang-ambing dalam lautan nikmat yang merasuk ke seluruh pori-pori tubuhnya. Beberapa menit kesadarannya seperti hilang dan tubuhnya lepas dari kendali, bergerak-gerak liar ke segala arah.
Setelah beberapa saat menggelepar dan meregang menikmati orgasmenya, Surti berhasil menguasai diri, lalu mendesah dengan suara letih, “Aduuh.., gila kamu, Yang.., bikin aku ketagihan”
Bari tertawa kecil sambil menggigit dagu istrinya tercinta, “Ini mau protes atau mau bilang terima kasih?”, tanyanya.
Surti tak menjawab, melainkan meraih leher suaminya, menciumi mulut pria yang sangat dicintainya itu. Mereka saling mengulum dan menggigit gemas. Surti menumpahkan seluruh perasaannya lewat ciuman itu. Ia ingin berterima kasih.., ia ingin memuji.., ia ingin memuja.., ia ingin menyatakan cinta. Tak ada pria lain yang ia cintai seperti pria yang satu ini. Pria ini membuatnya lebih hidup dari sekedar hidup, lebih bernafas daripada sekedar bernafas. Pria ini mengisi dunianya dengan gairah baru setiap hari.
Lalu, di tengah ciuman yang bergelora itu, mereka mulai bergerak lagi. Bari mulai menggenjot lagi, mulai memicu kembali gairah Surti yang belum sepenuhnya reda. Tak berapa lama kemudian mereka sudah tak sanggup lagi berkata-kata. Nafas keduanya memburu dan saling bersusulan, disertai erangan dan desahan yang tidak beraturan. Kursi panjang semakin bergeser dari kedudukannya semula. Bantal-bantal berserakan tertendang atau terdorong oleh gerakan-gerakan mereka yang semakin liar. Keringat mulai membanjiri tubuh mereka, membuat kemeja Bari basah kuyup di bagian punggung. Tubuh bagian bawah, terutama dari pinggang ke bawah, tampak paling basah, berkilat-kilat seperti dilapisi lilin dan minyak.
Lalu Surti mencapai orgasmenya yang kedua tanpa bisa ditahan lagi. Wanita itu menggelepar dan mengerang-erang sambil memejamkan matanya erat-erat. Wajahnya tampak berkonsentrasi dan merona merah mempesona. Mulutnya terbuka dan nafasnya keluar dalam hempasan-hempasan pendek. Bari terus menggenjot karena ia juga sudah mencapai tarap akhir pendakian asmara ini. Ia tidak berhenti walau tampaknya Surti telah kewalahan menahan rasa geli yang memuncak. Wanita itu berusaha memperlambat gerakan suaminya, tetapi ia juga tak berdaya karena setengah dari tubuhnya ingin tetap menikmati hunjaman-hunjaman Bari. Akhirnya ia menyerah saja, menggeletak dan meregang-regang terus menikmati orgasmenya yang sambung-menyambung.
Lalu Bari mencapai puncak birahinya. Pria itu menggeram dan mengerang keras. Seluruh otot di tubuhnya meregang seakan beramai-ramai mendorong keluar cairan cinta dari pinggangnya ke kejantanannya. Lalu sejenak ia terdiam, menanamkan dalam-dalam kejantanannya di liang cinta istrinya.., dalam sekali, sampai melesak ke pangkalnya.., sampai menyentuh langit-langit terdalam kewanitaan istrinya. Surti menguakkan kedua pahanya seluas mungkin, merasakan kejantanan suaminya seperti membesar sepuluh kali lipat.., sebelum akhirnya batang keras itu melonjak-lonjak liar dan menyemprotkan cairan-cairan kental panas. ooh, kewanitaan Surti seperti sebuah ladang kering yang tersiram hujan yang dinanti-nanti sejak lama!
Siang itu, Bari makan sangat lahap. Nyaris ia habiskan kedua bungkus mie goreng yang tadi dibawanya. Nyaris pula ia meneguk habis minuman ringan dingin dalam botol ukuran 1 liter itu. Surti tak henti-hentinya memperingatkan agar suaminya makan lebih lambat. Wanita itu kuatir Bari tersedak atau terserang kram perut.
“Duuh.., pelan-pelan, Yang!” sergah Surti sambil menyingkirkan jauh-jauh botol minuman yang tinggal seperempatnya.
“Tadi, waktu aku pelan-pelan, kamu suruh cepat-cepat..” sahut Bari sambil menyuap satu sendok penuh mie goreng yang lezat itu.
Surti tertawa, mengerti apa yang dimaksud suaminya, “Lho, tadi itu, kan perkara lain. Lagipula pada awalnya, kan juga pelaan.., sekali!” katanya manja.
“Ah, kamu memang suka ngatur..” protes Bari sambil terus menyuap, padahal mulutnya belum kosong sekali.
Surti mencubit lengan suaminya dengan gemas, “Alaah.., Kamu juga suka kan, diatur kalau lagi begitu!” katanya membela diri.
“Oke, nanti malam kamu atur lagi, ya” kata Bari sambil meraih botol minuman yang sudah disingkirkan jauh-jauh. Tanpa gelas, ia meneguk isinya langsung.
Surti membelalakan matanya yang mempesona itu, “Nanti malam? Ya ampun. Belum cukup juga, Yang?”
Bari tertawa, hampir saja tersedak. Surti menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar mengherankan, apakah ia begitu karena sebentar lagi ulang tahunnya yang ke 32? pikir Surti sambil menatap suaminya lekat-lekat. Kalau sedang tertawa, suamiku makin muda saja tampangnya. Makin cute dan makin menggemaskan. Nanti malam, harus kuapakan dia?
Bari pulang kantor dengan bersiul-siul. Jam baru menunjukkan pukul 5 sore. Walau tampak riang, jelas juga terlihat bahwa pria itu agak letih. Surti menyambut pasangan hidup terkasihnya di depan pintu, menerima tasnya, dan membiarkan tubuhnya yang segar karena baru habis mandi, dipeluk oleh suaminya.
“Hmm.., harumnya istriku”, bisik Bari sambil menciumi leher Surti.
“Hmm.., baunya suamiku”, sergah Surti menggoda. Sebetulnya, Bari tak pernah punya persoalan bau badan. Tetapi agaknya suaminya tadi rapat di ruang penuh asap rokok. Bau kretek menyengat dan mengganggu.
“Iya, deh. Aku mau langsung mandi!”, kata Bari sambil merengut merajuk dan melepaskan pelukannya.
Surti tertawa dan tidak mau melepaskan diri dari suaminya, ia merangkul leher pria kesayangannya dengan manja.
“Aku mandiin, yaa..” katanya sambil menciumi pipi Bari yang masih menyisakan sedikit harum after shave.
“Ngga mau. Nanti ngga jadi mandi, malah tambah keringetan..” sergah Bari sambil terus melangkah ke kamar tidur, menyeret serta istrinya yang terus merangkul manja.
“Diganggu sedikit saja sudah ngambek!” sergah Surti sambil menggigit pelan cuping telinga suaminya.
Akhirnya Surti melepaskan suaminya. Setelah berganti baju dan sejenak membaca koran sore, Bari mandi sepuas-puasnya. Segar sekali mengguyur badan yang penat dengan air dingin. Sementara Surti menyiapkan kopi dan makanan kecil kegemaran suaminya. Tetapi rupanya Bari memang cukup penat hari itu. Karenanya, pria itu tergolek tidur di kursi sebelum menghabiskan kopinya. Surti terenyuh melihat suaminya terlena dengan wajah damai. Sejenak ia berpikir untuk membatalkan semua rencananya malam ini. Kasihan kalau ia memaksa diri, bisik wanita itu. Dengan hati-hati diletakkannya bantal di bawah kepala suaminya. Lalu perlahan ia mencium pipi lelaki itu. “Tidur nyenyak, sayang..”, bisiknya dalam hati.
Rumah pasangan itu pun menjadi sepi, dan Surti punya banyak waktu memilih-milih foto yang akan dipakai untuk membuat brosur pesanan sebuah maskapai penerbangan dalam negeri. Entah berapa lama Bari tertidur lelap. Surtipun semakin asyik bekerja di studionya, lupa waktu. Malam telah menggelap, ketika tiba-tiba wanita itu teringat suaminya yang ditinggal di ruang keluarga. Sambil menggeliatkan tubuhnya yang terasa pegal duduk menekuni slide di atas meja observasi, Surti bangkit menuju ruang tengah.
“Hei.., sudah bangun kasihku cintaku”, sergah Surti karena ternyata Bari sudah bangun, walaupun masih bermalas-malasan.Dengan cepat Surti sudah berada di sisi suaminya, menciumi pipi lelaki pujaannya itu dengan penuh kasih sayang sambil bertanya, “Mau makan sekarang?”.
“Makan kamu?”, goda suaminya sambil mengacak-acak rambut Surti dengan gemas.
“Ah! Orang sudah letoy begitu, masih nantangin!”, sahut Surti sambil balas mengacak-acak rambut suaminya.
“Eh.., jangan memandang rendah kekuatan seorang pria, ya!” sergah Bari sambil mencoba bangkit, tetapi tidak bisa karena Surti tahu-tahu sudah duduk di pangkuannya.
“Bukan begituu..” sahut Surti serius, “Kamu memang kelihatan letih. Perlu di isi dulu dengan makan malam yang sedap dan penuh energi!”
“Lalu.., setelah di isi?” tanya Bari sambil mencoba bangkit lagi, tetapi gagal lagi karena Surti malah menelungkup di dada suaminya.
“Ya.., gimana nanti saja!” sahut Surti sambil memeluk erat-erat suaminya dan menyembunyikan mukanya di leher orang yang sangat dicintainya itu.
“Ah, kamu ini memang suka ngatur..”, sergah Bari sambil menepuk pantat istrinya dengan gemas.
“Kan, memang itu permintaan kamu tadi siang.., nanti malam kamu atur lagi, ya.., Ya, kan!?” sahut Surti tak mau kalah.
“Oke!, Oke!” Bari menyerah, “Sekarang, bagaimana kita bisa makan kalau aku di-kelonin terus seperti ini?”.
Surti tertawa, lalu bangkit dan menyeret suaminya ke meja makan. Mereka menyantap ikan gurame goreng kering dan lalap aneka daun, plus sambal terasi.
Selesai makan malam yang telah betul-betul membuat Bari segar kembali, sepasang suami istri itu duduk berdampingan menonton berita malam di televisi. Seperti biasa, Surti manja merebahkan kepalanya di dada Bari yang bidang, memeluk erat lengannya, dan menopangkan satu kaki di atas pangkuan lelaki itu. Nyaman sekali rasanya berduaan seperti ini, di malam sepi yang mulai ramai penuh suara unggas malam.
Berbagai berita bermunculan di layar, tetapi Surti tak terlalu tertarik. Baginya, suami yang pulang dengan sehat dan cerita, lebih penting dibandingkan perang di sana-sini, persoalan politik di mana-mana, atau selebriti dunia yang muncul tenggelam. Semuanya tidak relevan buat Surti, sepanjang Bari ada di sampingnya, dalam pelukannya, dalam jangkauan ciumannya.
“Aku besok mau cuti saja”, celetuk Bari ketika acara siaran berita menjelang usai.
“Cuti bagaimana?”, tanya Surti sambil memejamkan mata menikmati detak teratur jantung suaminya yang dekat sekali di telinganya.
“Ya cuti.., artinya tidak masuk kantor.., Tinggal di rumah.., Satu hari penuh.., Dari pagi sampai malam..” ujar Bari seperti orang membacakan arti ‘cuti’ di kamus bahasa.
“Dan boleh begadang..”, sambung Surti cepat-cepat.
Bari tertawa, “Ya. Betul.., boleh begadang. Tapi buat apa begadang, kalau tidak ada yang dikerjakan”, katanya.
“Ngerjain aku, dong..” sergah Surti manja sambil memeluk lebih erat.
“Ngga mau”, kata Bari kalem, “Malam ini, kan kamu yang ngatur.., Aku sih, terima beres saja, kan?”
Surti tertawa tergelak, “Kamu betul-betul ngga mau ngalah sama istri, ya!” sergahnya sambil mencubit pipi suaminya dengan gemas, tetapi cepat-cepat ia lalu mencium tempat cubitan itu ketika suaminya mengaduh.
“Memang begitu, kok, perjanjiannya..”, kata Bari bersikeras.
“Ayo dong, ke kamar” sergah Surti, tetapi ia sendiri masih memeluk suaminya, masih merebahkan kepala di dadanya.
“Kamu yang harus bisa membuat aku mau ke kamar”, jawab suaminya.
Surti mengangkat mukanya, “Eh.., begitu ya? Jadi aku harus merayu, begitu?” tanyanya sambil melebarkan kedua matanya yang indah itu.
Bari menghindari tatapan istrinya, pura-pura tertarik menonton berita terakhir. Surti menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak, lalu bertanya, “Aku harus berbuat apa supaya kamu mau ke kamar?”.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi, Bari menyahut kalem, “Bagaimana kalau kamu menari bugil..”.
“Apa?”, jerit Surti sambil lebih membelalakkan matanya, “Ih, pikiranmu jorok ah!”.
Bari terlonjak karena dicubiti oleh istrinya di pinggang, di perut, di paha, di dada, di mana-mana. Lelaki itu tertawa-tawa kegelian, dan senang karena bisa membuat istrinya terdesak dalam perdebatan. Sekarang ia tinggal menunggu, maukah Surti melakukan apa yang dimintanya itu.
Setelah puas mencubiti suaminya, Surti berseru, “Baik! Jangan tinggalkan tempat.., Saya akan kembali sebentar lagi!”
Bari tersenyum enteng, tetapi sesungguhnya ia berdebar juga. Tegang sendiri memikirkan apa yang akan dilakukan istrinya.
Surti menghilang ke dalam kamar cukup lama. Bari berkali-kali menengok, kuatir jangan-jangan istrinya meninggalkannya tidur. Jangan-jangan ia mempermainkan aku, pikirnya. Tetapi ia tidak beranjak dari kursi di depan TV yang sudah menyelesaikan tayangan siaran berita, berganti siaran musik. Ia masih menunggu, dan berharap akan benar-benar mendapat “pertunjukan istimewa” dari istri tercintanya.
Lalu tiba-tiba lampu ruangan mati. Bari tersentak, dan belum sempat menengok mencari siapa yang iseng mematikan lampu, TV-pun ikut mati. Sialan! sergah pria itu, istriku ternyata membawa remote control, dan pasti dia yang iseng.
“Jangan becanda, ah..” Bari hendak mengeluh, tetapi lalu lampu di pojok ruangan menyala. Sinarnya hanya temaram, menimbulkan suasana romantis. Dan di sana.., di depan pintu kamar tidur.., Surti berdiri dengan daster tipis yang menampakkan bahunya yang putih mulus. Ada tali kecil yang mengaitkan daster itu ke bahunya. Dalam sinar yang temaram, Surti tampak bagai sebuah manequin di etalase toko. Daster itu terlalu tipis untuk bisa menyembunyikan tubuhnya yang telanjang. Tetapi karena sinar temaram, Bari tidak bisa melihat seluruh tubuh istrinya. Lelaki itu melongo.
“E-e-e..” Surti berbisik sambil mengacungkan dan menggoyang-goyangkan telunjuknya.
“Jangan beranjak dari tempat duduk..”
Bari yang sudah siap bangun, kembali duduk, lalu tersenyum menikmati pemandangan di depannya. Boleh juga gaya istriku! sergahnya dalam hati. Mari nikmati saja pertunjukkan ini.
Surti melangkah perlahan meninggalkan pintu kamar ke arah tengah ruangan. Langkahnya gemulai, meniru Miranda di cat walk. Sudah beberapa kali Surti menonton sahabat cantiknya itu beraksi. Ia sudah tahu bagaimana berjalan agar terlihat seksi dan menawan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis menggoda. Satu tangannya di letakkan di belakang pinggangnya, dan satu lagi melenggang santai. Bari tersenyum lebar. Bravo! tukasnya dalam hati, kalau dia sudah bosan memotret, bolehlah melamar jadi peragawati!
Sekitar tiga langkah di depan suaminya yang tertegun, Surti berhenti. Perlahan-lahan wanita seksi itu memutar tubuhnya 360 derajat. Bari berhenti tersenyum. Ia menahan nafas, melihat tubuh istrinya melintas bagai film slow motion, menerawangkan kemulusan yang tak tertutup oleh pakaian dalam. Payudara yang sintal dan tegak menantang itu terlintas, perut yang datar dan dihiasi noktah pusar bagai lesung pipit, lembah di antara dua paha yang samar-samar terlihat, dua bukit di pantatnya yang padat berisi sungguh menggemaskan. Satu persatu pemandangan indah itu melintas untuk ditatap sepuas hatinya.
Surti melakukan gerakan memutar perlahan itu dua kali. Satu ke arah kiri, satu lagi ke arah yang berlawanan. Setelah putaran kedua, Surti diam sejenak menghadap suaminya dengan kedua kaki tegak agak terentang. Ia menahan tawa melihat suaminya menelan ludah berkali-kali. Rasain!, sergahnya dalam hati, biar dia betul-betul kepengin!
Lalu, sambil tetap berdiri tegak terentang itu, Surti perlahan-lahan mengangkat satu tangannya untuk diletakkan di belakang leher. Ketiaknya yang bersih mulus segera terpampang, dan seberkas keharuman yang lembut menyeruak penciuman Bari, membuat pria itu menghela nafas dalam-dalam. Pria itu juga kemudian menahan nafas, ketika dengan perlahan-lahan, menggunakan satu tangan yang lainnya, Surti menurunkan kait daster di bahu kirinya.
Daster itu merosot sedikit. Pelan-pelan bagian atas payudara kiri Surti menyeruak. Bari menelan ludah. Bukit indah di dada istrinya itu terlihat indah kalau hanya sebagian terkuak. Samar-samar ia bisa melihat puting susunya yang kini menjadi satu-satunya penyangga sehingga daster itu tidak merosot terus untuk menampakkan seluruh bola putih mulus. Ingin rasanya Bari bangkit dan menarik daster itu. Tetapi ia tidak boleh bergerak, bukan?
Lalu Surti menggunakan tangan yang tertumpang di belakang lehernya untuk melepaskan kait daster yang lain. Dan seperti sebelumnya, daster itu merosot perlahan. Kini tertahan oleh tangan Surti yang berada di depan dadanya, sedikit di bawah kedua putingnya. Dengan cara ini, Surti menampilkan bagian atas kedua payudaranya yang ranum membusung menawan itu. Bari menelan ludah lagi, sungguh seksi terlihat istrinya, dengan dua bukit yang mengintip malu-malu dan bahu mulus terpampang bebas. Ingin sekali ia membenamkan mukanya di sana. Ingin sekali! tetapi tidak bisa, bukan?
Sambil tersenyum menggoda, Surti menurunkan sedikit tangannya yang berada di depan dada. Sedikit saja, sehingga kini sebagian dari putingnya tampak mengundang selera. Lalu wanita itu melangkah mundur perlahan-lahan. Bari mengernyitkan dahi agar bisa terus memandang jelas. Sialan! sergahnya dalam hati, kenapa dia musti mundur?
Setelah cukup jauh, dan bahkan hampir menyentuh tembok di seberang Bari, wanita seksi itu berhenti lalu berputar membelakangi suaminya. Sambil menengok dengan gayanya yang manja, Surti menggunakan satu tangannya untuk menarik bagian belakang dasternya pelan-pelan ke atas. Bari terhenyak di kursinya, merasakannya nafasnya cepat memburu, ketika melihat paha istrinya yang mulus tersingkap sedikit demi sedikit. Kain tipis itu terus naik, perlahan-lahan menampilkan bagian belakang tubuh Surti yang indah dan menggemaskan. Bari menahan nafas, ketika seluruh bulatan seksi pantat istrinya terpampang bebas. “Oh.., mengapa ia harus berdiri jauh-jauh begitu!”, keluh Bari.
Apalagi kemudian perlahan-lahan Surti merenggangkan kedua kakinya dan perlahan-lahan pula membungkuk sambil tetap menahan tepian daster di pinggangnya. Bari semakin terhenyak di kursinya, memandang istrinya pelan-pelan menungging. Pantatnya yang seksi pelan-pelan menjadi bagian yang paling tinggi. Dan.., Wow.., kewanitaan istrinya terlihat indah dari belakang, agak sedikit terkuak menampakkan bagian yang tersembunyi. Bari menelan ludah entah sudah berapa kali, belum pernah ia melihat istrinya begitu menggiurkan seperti ini. Tak sadar, kejantanannya menegang membentuk sebuah tonjolan di depan celananya.
Untuk beberapa jenak Surti tetap membungkuk memamerkan bagian paling sensual dari tubuhnya. Setelah hitungan ke sepuluh, cepat-cepat wanita itu menegakkan lagi tubuhnya, sekaligus melepaskan dasternya turun menutupi kembali pantatnya. Terdengar jelas Bari mendesah kecewa, dan Surti menahan tawanya. “Malam ini dia harus memohon-mohon untuk bisa menjamahku!”, sergah Surti dalam hati.
Lalu Surti berbalik lagi menghadap suaminya. Masih dengan posisi kaki agak terentang, ia melepaskan pegangan tangannya pada bagian atas dasternya. Dengan cepat, karena sudah tak terkait lagi di bahu, daster tipis itu meluncur turun. Tubuh yang menggiurkan, mulus tanpa cela, seksi, sensual, erotis, menggemaskan, mengundang remasan, putih bersih halus. Wow!, Bari berkali-kali menjerit kagum di dalam hati. Baru kali ini, ia bisa betul-betul menikmati pemandangan tubuh istrinya, padahal sudah seringkali mereka bercumbu bertelanjang bulat. Tetapi baru kali ini Bari sadar bahwa istri tercintanya adalah sebuah keindahan yang tidak hanya harus digumuli diremas, tetapi juga dipandang sepenuh kalbu.
Surti menarik sebuah kursi di dekatnya. Pelan-pelan ia duduk, tanpa sedetikpun mengalihkan pandangannya dari Bari, tanpa berhenti tersenyum tipis menggoda. Setelah duduk, perlahan-lahan Surti mengangkat satu kakinya untuk ditopangkan di sandaran kursi. Pelan-pelan Bari melihat selangkangan istrinya terkuak. Bari menahan nafas menunggu sampai lembah cinta yang selalu nikmat untuk ditelusuri dengan jari atau lidahnya itu betul-betul terkuak sempurna. Wajah Surti merona nakal dan genit menggoda, ketika akhirnya kakinya tertumpang di sandaran kursi. Selangkangannya terkuak sempurna. Terpampang sepenuhnya untuk dipandang sepuasnya oleh sang suami.
Bari bersiap untuk bangkit, tetapi gerakannya terhenti karena Surti cepat sekali mengangkat telunjuknya dan berdesah seksi, “Ssst.., jangan beranjak.., tetap di tempatmu..”.
Bari kembali duduk, dan lalu membelalakkan matanya melihat apa yang sedang dikerjakan istrinya.
Surti memasukkan satu jari tengahnya ke mulutnya. Pelan sekali, dengan gaya seksi, wanita itu menyedot-nyedot jarinya sendiri, membuatnya basah dari ujung sampai ke pangkalnya. Lalu, Surti menggunakan jari yang basah itu untuk membuat sebuah alur. Pelan-pelan ia mengguratkan jarinya dari dagu, turun ke leher, turun ke antara dua bukit payudaranya, berputar naik ke salah satu putingnya yang segera bereaksi tegak lalu turun lagi ke perutnya, berputar-putar di pusarnya lalu terus turun. Bari menelan ludah dan menahan nafas. Jari itu terus turun ke selangkangan menyerong sedikit untuk melintas cepat di lepitan pertemuan antara paha dan pinggulnya lalu menyelinap di antara dua bibir kewanitaannya. Naik ke atas sampai ke lepitan yang menyembunyikan tombol asmaranya berputar sejenak di sana lalu turun lagi.
Mulut Surti terbuka sedikit, senyumnya menghilang. Gerakan ini sebetulnya di luar rencana. Wanita sensual ini tadinya hendak menghapuskan gerakan ini dari acting-nya. Tetapi entah kenapa kini ia ingin melakukannya. “Aku akan mencobanya!”, sergah Surti dalam hati. Mudah-mudahan bisa.
Nafas Bari memburu keras. Ia sudah sangat terangsang oleh semua pertunjukkan Surti, tetapi kali ini benar-benar nyaris tak tertahankan karena tahu apa yang dilakukan istrinya. Wanita yang selalu menggiurkan baginya itu melakukan hal yang tak terduga, merangsang dirinya sendiri di hadapan suami. Betapa erotiknya pemandangan itu.., melihat seseorang yang terkasih merangsang dirinya sendiri, terbuka tanpa tedeng aling-aling menikmati jarinya yang lentik turun naik menelusuri lembah cintanya.
Dan Surtipun merasakan darahnya berdesir cepat ketika perlahan-lahan kenikmatan datang dari gerakannya sendiri. Ia sendiri tak kuasa lagi mencegah gerakan tangannya, yang seakan-akan secara otomatis naik turun sepanjang kanal senggamanya. Pelan-pelan kanal itu semakin basah, dan semakin lancarlah perjalanan sang jari yang lentik.
Untuk beberapa saat Bari ragu-ragu, apakah aku harus membantu? pikirnya. Tetapi ia lalu memutuskan untuk duduk saja menonton gerakan-gerakan erotis itu. Wajah Surti kini merona merah, dan matanya meredup sayup. Mulutnya semakin terbuka, dan nafasnya mulai terdengar memburu. Berkali-kali ia kelihatan menggeliat tertahan, terutama jika ujung jarinya seperti tak sengaja menyentuh bagian atas kewanitaannya.
Surti tak bisa menahan sebuah erangan keluar dari mulutnya. Sejenak ia memejamkan mata, mengurut-urutkan jarinya agak lebih keras di kanal cintanya. Beberapa kali ia melakukannya. Lalu ia membuka mata kembali, memandang suaminya yang masih duduk dengan wajah terpesona. Ia tersenyum manis. “Nah, apakah sekarang dia masih tidak mau ke kamar?”, pikir Surti sambil menghentikan kegiatannya. Sambil tetap tersenyum, cepat-cepat ia bangkit dan melangkah menuju kamar. Gerakan ini dilakukan tiba-tiba, karena memang dimaksudkan sebagai surprise.
Bari tersentak ketika menyadari istrinya telah hampir sampai di kamar. Ia ragu-ragu, apakah sudah boleh berdiri dan ikut ke kamar? Ia baru saja hendak bertanya, ketika dilihatnya istrinya berhenti di ambang pintu dan menengok ke arahnya dengan gaya manja campur genit. Lalu istrinya berkata pelan nyaris berbisik, “Kalau mau masuk, ketok pintu dulu, ya!”.
Belum sempat Bari mencerna ucapan itu, Surti sudah menghilang masuk kamar dan menutup pintu. Ketika terdengar suara kunci diputar, barulah Bari terlonjak bangun. Cepat-cepat ia melangkah ke kamar, dan mengetuk. Satu kali, tidak ada reaksi. Dua kali, hanya terdengar istrinya bergumam tak jelas. Tiga kali, terdengar langkah menuju pintu. Empat kali, terdengar suara Surti menggoda dari balik pintu, “Siapa itu?”.
“Buka, dong, Yang..”, ujar Bari dengan gaya memelas.
“Nanti dulu, saya pakai baju dulu..” kata Surti sambil menahan tawa.
“Aku nyerah, Yang.., Please jangan pakai baju lagi..” kata Bari betul-betul penuh dengan permohonan yang tulus.
Surti tertawa cekikikan mendengar ucapan suaminya. Tak tega, ia segera membuka pintu.
Apa yang kemudian terjadi di kamar itu, tak usahlah diceritakan secara rinci. Pokoknya, kegairahan suami istri itu muncul berkali-lipat lebih besar daripada percumbuan pagi hari maupun siang hari. Bari melumat habis istrinya, dan Surti megap-megap menikmat serbuan suaminya. Satu jam lebih mereka bergumul. Silakan bayangkan sendiri apa yang mereka lakukan!
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar